REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Isu reshuffle dalam Kabinet Kerja Presiden RI Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla yang tersebar ke publik dinilai sebagai upaya mengevaluasi kinerja dan produktivitas para menteri.
“Pemerintahan Jokowi-JK sedang konsentrasi penuh dan bekerja keras untuk menunaikan janji politiknya pada saat Pemilu 2014. Sebab, ia mendapatkan kepercayaan dan dukungan politik dari rakyat Indonesia lebih dari 51 persen,” sebut Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (PB HMI) Agus Toro, dalam rilisnya, Jumat (10/7).
Ia menilai, rencana reshuffle tersebut mempunyai perspektif positif agar anggota kabinet betul-betul memiliki kecakapan dalam memimpin dan berkompetensi untuk menyelesaikan agenda-agenda strategis bangsa.
“Kami sebagai organisasi kader dan organisasi perjuangan memiliki catatan dan evaluasi kritis terhadap produktivitas kinerja anggota kabinet,” imbuh Agus.
Dalam catatannya, kinerja Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno cukup memperlihatkan kepemimpinan yang mengutamakan harmonisasi berbagai pihak, seperti yang terlihat dalam kesuksesan pengamanan Konferensi Asia Afrika.
Begitu pula dengan pemberian grasi terhadap beberapa tahanan politik Papua yang tergabung adalah Organisasi Papua Merdeka. Agus pun menilai, Tedjo menginginkan kasus HAM harus dituntaskan dengan jalan yudisial dan non-yudisial.
Pujian PB HMI lainnya justru dilontarkan untuk Menteri Kelautan dan Perikanan Pudji Astuti.
Kondisi tersebut berbeda dengan tim ekonomi yang dikomandani Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.
PB HMI mencermati, keduanya gagal memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia. Nilai tukar rupiah lemah atas dolar, pertumbuhan ekonomi lamban serta daya beli masyarakat yang lemah menjadi bukti nyata.
“Kepercayaan rakyat terhadap tim kerja kabinet kerja khusunya bidang ekonomi dan keuangan sangat kurang,” katanya.
Kritik lainnya ditujukan untuk Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly. Yasonna, ujar Agus, sering menciptakan kegaduhan politik dan menurunkan citra pemerintah sebagai institusi negara. Lantaran keputusannya membuat persengketaan panjang antarparpol, seperti yang terjadi dalam Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan.