Kamis 09 Jul 2015 13:53 WIB

KPK: Dinasti Politik Perbesar Peluang Korupsi

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Karta Raharja Ucu
Puluhan aktivis anti korupsi berunjuk rasa mengecam politik dinasti saat Gubernur Banten Atut Chosiyah melantik adik kandungnya Haerul Jaman menjadi Walikota Serang di Serang, Kamis (5/12).
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Puluhan aktivis anti korupsi berunjuk rasa mengecam politik dinasti saat Gubernur Banten Atut Chosiyah melantik adik kandungnya Haerul Jaman menjadi Walikota Serang di Serang, Kamis (5/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi UU Pilkada, yang membolehkan keluarga atau kerabat petahana untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. UU Pilkada itu dinilai bisa menjadi celah melanggengkan dinasti politik dan berpotensi besar terjadinya praktik korupsi.

Plt Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Adji, mengatakan politik dinasti semakin membuka peluang dan memperbesar potensi terjadinya korupsi. Hal itu terbukti dari beberapa kasus korupsi yang diungkap KPK.

Ia menyebut, sejumlah kepala daerah maupun mantan kepala daerah yang melanggengkan dinasti politik terjerat kasus korupsi di KPK. "Potensi korupsi terhadap dinasti politik itu sangat memungkinkan berdasarkan praktik empiris, seperti kasus gubernur Banten, kasus dugaan korupsi Bupati Empat Lawang, di Bangkalan dan lain-lain," kata dia, Kamis (9/7).

Namun, pakar hukum pidana ini menyatakan putusan MK harus tetap dihormati. Sebab, kata dia, putusan MK basisnya adalah hak asasi warga negara dalam kehidupan dan sistem ketatanegaraan.

MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pilkada. Uji tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas aturan bagi calon kepala daerah agar tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam pilkada.

Dalam pertimbangannya juga disebutkan bahwa UUD 1945 memberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara untuk menggunakan hak konstitusionalnya, yakni hak untuk dipilih, sehingga materi dalam pasal tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan terdapat muatan diskriminatif kepada warga negara.

Dalam putusannya, MK menilai materi yang ada dalam pasal 7 huruf r tersebut bertentangan dengan undang-undang dasar (UUD 1945) yakni pasal 28 J, di mana terdapat muatan diskriminatif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement