Rabu 08 Jul 2015 20:07 WIB

Demokrat: Putusan Kerabat Petahana Ikut Pilkada Perlu Kontrol Kuat

Rep: C23/ Red: Ilham
Seorang pekerja menyelesaikan pemasangan atribut persiapan kongres Partai Demokrat ke-IV di Hotel Shangrila, Surabaya, Jawa Timur, Senin (11/5).
Foto: AntaraZabur Karuru
Seorang pekerja menyelesaikan pemasangan atribut persiapan kongres Partai Demokrat ke-IV di Hotel Shangrila, Surabaya, Jawa Timur, Senin (11/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jendral Partai Demokrat, Didi Irawadi mengatakan, perlu ada pengawasan dan kontrol yang kuat terkait disahkannya kerabat petahan untuk melaju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hal ini bertujuan agar kekuasaan yang digenggam oleh para pejabat dari kumpulan suatu keluarga tidak disalahgunakan.

"Yang mungkin perlu dipikirkan ke depan adalah pengawasan dan kontrolnya. Saya kira perlu sanksi yang lebih berat manakala di kemudian hari jabatan itu disalahgunakan, katakanlah apabila ada petahana yang memuluskan keluarganya dengan cara-cara tidak benar atau KKN untuk meraih jabatan publik," tutur Didi pada Republika, Rabu (8/7).

Namun, Didi memang tidak menyangkal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu adalah tepat. Karena menurutnya, tidak adil bila ada saudara atau kerabat petahana yang memiliki kapasitas dan kemampuan tidak diperbolehkan menjadi pejabat publik.

"Tentu sekali lagi asalkan tidak berbasis kepentingan primordial, sekadar mengambil keuntungan bisnis semata, apalagi KKN," ucapnya.

Seperti diketahui, MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 7 huruf R Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Uji tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas aturan bagi calon kepala daerah agar tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam Pilkada.

Dalam pertimbangannya, UUD 1945 memberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara untuk menggunakan hak konstitusionalnya, yakni hak untuk dipilih, sehingga materi dalam pasal tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan terdapat muatan diskriminatif kepada warga negara.

Dalam putusannya, MK menilai materi yang ada dalam pasal 7 huruf r tersebut bertentangan dengan undang-undang dasar (UUD 1945), yakni pasal 28 J, di mana terdapat muatan diskriminatif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement