REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena Go-Jek dan layanan berbasis aplikasi lainnya sudah sebegitu kontrovesial hingga pemerintah kini sedang dihadapkan dengan era baru perubahan transportasi di Tanah Air.
Tak pelak tanggapan secara positif dan negatifpun berdengung di kuping masyarakat. Bisa jadi Go-Jek, GrabBike dan GrabTaxi adalah sebuah pertanda mulainya reformasi transportasi. Atau mungkin dalam adanya pengaturan terhadap jasa layanan Go-Jek dan sebangsanya malah akan menyudutkan pelaku bisnis tertentu.
Bukan hanya di Indonesia saja, bahkan di dunia luarpun sedang terjadi sebuah revolusi kreatif di bidang layanan transportasi. Bahkan di negara maju semuanya berbasis smartphone. Semua kebutuhan dapat dengan mudah kita dapatkan secara cuma-cuma.
Perusahan jasa berbasis smartphone mulai menjamur, mereka semua menawarkan kemudahan bagi konsumennya yang memerlukan transportasi secara mudah dan cepat. Bisa dikatakan jika Go-Jek memang meretaskan usahanya di Indonesia tepatnya di Jakarta pada tahun 2011 lalu.
Pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) PT. Go-Jek Indonesia (GoJek), Nadiem Makariem sangat optimis idenya dapat membawa hasil yang positif. Sedangkan GraBike adalah layanan tambahan dari GrabTaxi Malaysia, mereka baru terlahir pada tahun ini dan terbilang masih merangkak dalam bersaing dengan Go-Jek.
Dalam bisnis pemesanan layanan antar via motor lewat aplikasi. Tercatat, saat ini bisnis pemesan ojek lewat aplikasi, baru diisi oleh Go-Jek dan GrabBike. Dengan adanya inovasi terbaru atas aplikasi seperti ini, para masyarakat (konsumtif) mendapatkan manfaat dari layanan ini adalah segala kepastian mengenai pembayaran dan pemesanan yang memastikan.
Kehadiran Go-Jek mampu memberikan nafas segar bagi para orang-orang yang hanya tamat Ijazah SMP untuk berprofesi sebagai pengemudi Gojek dengan hasil yang terbilang sangat menggiurkan sekitar Rp 4-6 juta per bulan dengan durasi jam serta ketentuan penumpang yangtelah disepakati oleh perusahaan.
Namun, meroketnya layanan ini mendapat pertanyaan banyak pihak jika nantinya layanan ini mengancam status quo yang sudah ada. Pangkalan ojek rata-rata bersistem setiap orang yang mau menggunakan ojek harus datang dan mengunjungi ojek secara langsung ke pangkalan terdekat.
Perlu diketahui ojek sistemnya masih per wilayah, dan para tukang ojek di wilayah tertentu tidak boleh dan tidak dapat dengan sewenang-wenangnya mengantar penumpang di wilayah yang bukan tempatnya.Hal tersebut dibenarkan oleh salah seorang tukang ojek konvensional di daerah Kalimalang, Jakarta Timur.
"Iya, kami menentang jika Go-Jek main sembarangan naikin atau nurunin penumpang di wilayah kita. Masalahnya kita tidak pernah melakukan hal itu dan biar kerjaan seperti ini kita juga memiliki kode-kode dalam tata pekerjaan kita," cetus Madun (34) pengemudi ojek asal Pondok Kelapa, Jaktim saat di wawancara Republika Online, Selasa (7/6).