Senin 06 Jul 2015 15:23 WIB

'Wibawa Jokowi dalam Pertaruhan'

Rep: c14 / Red: Angga Indrawan
 Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) memimpin rapat terbatas membahas proyek galangan kapal di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (28/6).  (Antara/Yudhi Mahatma)
Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) memimpin rapat terbatas membahas proyek galangan kapal di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (28/6). (Antara/Yudhi Mahatma)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali merevisi peraturan yang telah ditandatanganinya sendiri. Yang terkini, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Belum lama juga, polemik terkait Perpres No 39/2015, yang mengatur tentang uang muka pembelian mobil bagi pejabat.

Pengamat politik Indikator Politik Indonesia (IPI), Burhanuddin Muhtadi, mengatakan wibawa Presiden Jokowi akan dipertaruhkan bila orang nomor satu di Indonesia itu berkali-kali merevisi peraturan sendiri. 

Untuk menjelaskannya, Burhanuddin membandingkan gaya kepemimpinan Presiden Jokowi dengan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Burhanuddin, keduanya memiliki karakteristik yang bertolak belakang. 

"SBY cenderung banyak pertimbangan, tapi agak lemah di level eksekusi. Jokowi terlalu cepat mengambil eksekusi. Kadangkala belum melalui pertimbangan yang matang," ujar Burhanuddin Muhtadi dalam pesan singkat yang diterima Republika, Senin (6/7).

Gaya kepemimpinan yang terlalu fokus pada eksekusi, Burhanuddin melanjutkan, akan menimbulkan ekses. Misalnya, kata Burhanuddin, muncul beberapa kebijakan pemerintah yang kemudian dianulir sendiri olehnya. 

"Seharusnya Jokowi mengawinkan pendekatan inkremental dan rasional. Sehingga, sebuah kebijakan bisa dieksekusi segera, tapi kecermatan dan kehati-hatian tetap dipertimbangkan," kata Burhanuddin. 

Dia menilai, Presiden Jokowi perlu mengonsolidasi para pembantunya agar benar-benar memahami kondisi riil masyarakat. Ini agar dampak sebuah kebijakan dapat diantisipasi sebelum disahkan serta tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Tentu, menurut Burhanuddin, hal ini lebih dari sekadar membaca sebuah draf sebelum menandatanganinya. 

"Jokowi perlu menginjak pedal gas untuk mempercepat pembangunan. Tapi, pedal rem juga tak boleh dilupakan," kata dia. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement