Jumat 26 Jun 2015 21:42 WIB
Revisi UU KPK

Komitmen Antikorupsi Pemerintahan Jokowi Dipertanyakan

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Angga Indrawan
Presiden Joko Widodo berjalan menuju ruangan rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (25/6).
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Presiden Joko Widodo berjalan menuju ruangan rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (25/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded), Arif Susanto mempertanyakan komitmen anti korupsi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Arif mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi tanda tanya mengenai hal ini. 

Pertama, kata dia, ketika Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan wakil ketua KPK Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka, Jokowi langsung mengganti jabatan mereka.

“Ini aneh karena tidak menyentuh persoalan. Sedangkan, penetapan kasus korupsi Komjen Pol Budi Gunawan yang juga sebagai tersangka tetapi tidak disentuh,” katanya saat diskusi Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia (GDRI) bertema "Seleksi Komisioner KPK dan Upaya Pelemahan Pemberantasan Korupsi di Era Jokowi dan KMP," di Jakarta, Jumat (26/6).

Selain itu, ia menilai penetapan Pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK tidak cermat. Sebab, usia Taufiequrachman Ruki melampaui yang dipersyaratkan undang-undang (UU) KPK. Kedua, Indriyanto memiliki potensi konflik kepentingan karena pernah menjadi pembela koruptor.

Selain itu, ia menilai penetapan Plt pimpinan KPK tidak strategis karena kinerja KPK merosot dan adanya resistensi internal terhadap kebijakan Ruki. Hal itu terjadi saat Ruki mengaku angkat tangan menangani kasus Budi Gunawan (BG). Selain itu, indikasi kriminalisasi para mantan komisioner KPK dan aktivis anti-korupsi berlanjut, instruksi presiden diabaikan penegak hukum. 

Ia juga menyayangkan kebijakan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) yang berencana merevisi peraturan pemerintah (PP) 99/2012 untuk melonggarkan syarat remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Menkumham juga mendukung rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU KPK, yaitu dengan mengurangi kewenangan penyadapan.

“Menurut saya, kalau memang ada penggantian menteri maka Menkumham juga harus direshuffle,” ujarnya.

Ia juga mempertanyakan niat pemerintah yang tidak cermat dan tidak transparan mengambil keputusan terkait anggaran negara. Itu dapat dilihat dari dua hal. Pertama, adanya peraturan pemerintah (PP) 39/2015 yang menaikkan uang muka pembelian kendaraan perorangan pejabat, meski kemudian dibatalkan. 

Kedua, kata dia, konon presiden memberikan persetujuan lisan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membangun gedung baru. Padahal, kata dia, keputusan pemerintah itu harus formal. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement