REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik Bareskrim batal memeriksa tersangka kasus dugaan korupsi program pembayaran paspor secara elektronik di Kementerian Hukum dan HAM, Denny Indrayana.
"Beliau (Denny) ada kegiatan di Yogyakarta, maka waktu (pemeriksaan) akan kami jadwal ulang," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Agus Rianto, Kamis (25/6).
Seharusnya, hari ini menjadi pemeriksaan kelima bagi Denny dalam statusnya sebagai tersangka kasus tersebut. Dalam kasus "payment gateway", penyidik baru menetapkan satu orang tersangka, yakni Denny Indrayana.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tersebut dikenai pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 dan pasal 23 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UUU No. 31 Tahun 199 jo pasal 421 KUHP Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maupun setiap orang yang menyalahgunaan kewenangan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Sementara Kadivhumas Polri Irjen Anton Charliyan menyatakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan ada indikasi kerugian negara sebesar Rp32 miliar dari pengadaan proyek tersebut. Selain itu didapati pula adanya pungutan liar senilai Rp605 juta.
Penyelidikan Polri bermula dari laporan BPK pada Desember 2014. Kemudian pada 10 Februari 2015, Bareskrim Polri menerima laporan Andi Syamsul Bahri atas dugaan keterlibatan Denny Indrayana dalam kasus korupsi ketika masih menjabat sebagai Wamenkumham.
Polri juga sudah memeriksa puluhan saksi dalam penyidikan, termasuk di antaranya mantan Menkumham Amir Syamsuddin dan Dirut PT Bank Central Asia, Tbk, Jahja Setiaatmadja.