Sabtu 20 Jun 2015 19:57 WIB

Demokrat Sarankan DPR Kaji Relevansi UU Perkawinan

Rep: C08/ Red: Bayu Hermawan
 Inggrid Kansil
Foto: Antara
Inggrid Kansil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Partai Demokrat Inggrid Kansil mengatakan sebaiknya Komisi VIII DPR RI perlu mengkaji ulang relevansi UU Perkawinan yang mengatur mengenai batasan usia menikah bagi perempuan.

Menurutnya UU Nomor 1 tahun 1974 itu sudah saatnya ditinjau ulang karena situasi budaya yang sudah banyak berubah pada zaman sekarang ini.

"Kita harus melihat dari fakta sosial yang ada. Kalau dilihat UU perkawinan itu sudah berusia 41 tahun. Perkembangan sosial budaya masyarakat selama kurun waktu 41 tahun sudah banyak pergeseran. Komisi VIII di DPR perlu mengkaji relevan atau tidaknya UU perkawinan ini," katanya melalui siaran pers yang diterima ROL, Sabtu (20/6).

Pernyataan yang diberikan Inggrid ini sebagai respon atas ditolaknya gugatan untuk batasan usia menikah oleh Mahkamah Konstitusi, yang mana gugatan tersebut menginginkan agar batasan minimal usia menikah bagi perempuan dinaikkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.

MK menolak gugatan yang diajukan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) pada pembacaan putusan sidang di gedung MK pada Kamis (18/6) kemarin.

Setelah dilakukan pengkajian, MK menyebut pasal 7 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 yang berbunyi "perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun (enam belas) tahun" masih diangga relevan digunakan hingga sekarang ini.

Inggrid menjelaskan alasan penolakan MK memang bisa diterima bila gugatan agar batasan usia dinaikkan menjadi 18 tahun tidak akan mengurangi perceraian di Indonesia.

Akan tetapi menurut Inggrid, MK juga harusnya memperhatikan dalam aspek sosial yang mana bila batasan usia menikah bagi perempuan dinaikkan menjadi 18 tahun akan dapat mencegah pernikahan paksa kepada anak, dan juga dapat mengantisipasi kematian ibu melahirkan karehna ketidaksiapan usia perkawinan.

Inggrid juga menyayangkan saat ini yang marak untuk melakukan perdagangan anak dan juga pernikahan siri yang bahkan dilakukan secara online.

"Selain fakta hukum, kita juga harus melihat dari fakta sosial yang ada. Perdagangan anak semakin marak, ada yang melalui online, ada juga nikah sirionline dan lain-lain. Pernikahan paksa yang marak dilakukan terhadap anak-anak yang belum paham namun dikarenakan sudah berusia 16 tahun maka dilegalkan. Ini jauh dari sentuhan hukum," jelasnya.

Karena itulah, Inggrid berharap agar parlemen melalui komisi III DPR RI dapat melakukan peninajauan apakah benar UU yang menyebutkan batasan 16 tahun usia menikah kepada anak perempuan memang relevan atau tidak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement