REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor Jawa Barat mengimbau masyarakat tidak membeli kebutuhan pokok secara berlebihan atau konsumtif selama Ramadhan 1436 Hijriah. Sehingga tidak memicu kenaikan harga.
"Tingginya pembelian masyarakat saat puasa menjadi salah satu pemicu naiknya harga kebutuhan pokok. Seharusnya puasa itu kita lebih berhemat, membeli seperlunya saja," kata Sekretaris Daerah Kota Bogor Ade Syarip Hidayat di Bogor, Jumat (19/6).
Ade mengatakan puasa mengajarkan untuk menahan haus dan lapar, serta godaan hawa nafsu. Begitu pula dengan membeli keperluan hidup sehari-hari harus disesuaikan dengan kebutuhan, tidak karena 'lapar mata'. "Kadang selama puasa itu lapar mata, beli ini itu, tetapi tidak dihabiskan sehingga jadi mubazir," katanya.
Menurut Ade, pasokan kebutuhan pokok selama bulan Ramadhan di Kota Bogor lancar dan mencukupi seperti beras, telur, daging, ikan, ayam dan sayuran. Untuk memastikan kebutuhan pokok tercukupi, Pemkot Bogor menginstruksikan Dinas Perindustrian dan Pedagangan serta Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya untuk mengawasi pasokan dan kenaikan harga.
"Kami sudah instruksikan Disperindag dan PD Pasar Pakuan Jaya untuk melakukan pengawasan dan pemantauan, setiap pekan dilaporkan ke wali kota," katanya.
Ade menambahkan Pemkot Bogor siap menggelar operasi pasar jika sewaktu-waktu harga kebutuhan pokok seperti beras, gula, tepung atau minyak mengalami kenaikan cukup signifikan atau melebihi angka 10 persen. Sementara itu, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor, Mangahit Sinaga, menyebutkan tren kenaikan harga kebutuhan pokok sudah terjadi sepekan sebelum bulan Ramadhan datang. "Rata-rata harga naik mulai dari dua persen hingga sembilan persen," katanya.
Ia mengatakan kenaikan tertinggi terjadi pada harga jual daging sapi yang kini menembus harga Rp 120 ribu per kg dan juga harga ayam yang lebih dari Rp 30 ribu per kg. "Kebiasaan masyarakat saat menyambut Ramadhan selalu ada hidangan istimewa, masak daging sapi dan daging ayam, otomatis permintaan meningkat harga ikut tinggi karena tren," katanya.
Menurut Sinaga, sejauh ini kenaikan harga karena mekanisme pasar. Pedagang tidak diperbolehkan menaikkan harga secara sepihak, karena melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. "Jika ada yang menaikkan harga sepihak bisa terancam pidana. Begitu juga yang melakukan penimbunan, sanksi tegas denda Rp 50 miliar dan kurungan selama lima tahun," katanya.