REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menegaskan pemberian hak mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) untuk lembaga pimpinannya ialah dengan pertimbangan hukum. Kata dia, SP3 tersebut diperlukan terkait peristiwa-peristiwa hukum yang menyangkut penyidikan di lembaga antirasuah itu.
Pun dikatakan oleh Ruki, SP3 memberikan persamaan hak di tiga lembaga penyidikan, juga pemberian hak serupa terhadap tersangka di tiga lembaga penegakan hukum tersebut.
"Saya sependapat untuk diberikan kewenangan yang sama. Diberikan tanggung jawab yang sama kepada KPK, kepada Kejaksaan dan Kepolisian. Sehingga setiap tersangka tindak pidana korupsi, mendapat perlakuan yang sama," kata dia, saat ditemui disela RDP bersama Komisi III DPR RI, Jakarta, Kamis (18/6).
Ruki mengatakan, agar soal kewenangan mengeluarkan SP3 oleh KPK tersebut dipikirkan. Dia mengambil contoh bagaimana jika seorang tersangka korupsi diketahui sudah meninggal dunia, atau kedaluwarsa.
"Itu (kasusnya) harus di-SP3. Penyidik nggak bisa menghadirkan orang meninggal ke pengadilan," kata dia.
Diterangkan Ruki, jika kasus tersebut ditangani Kepolisian dan Kejaksaan, ada kewenangan dua lembaga penyidikan tersebut untuk mengeluarkan SP3.
"Kalau itu terjadi di KPK? Siapa yang akan meng-SP3-kannya?," tanya Ruki.
Itu mengapa, Ruki berpendapat, pemberian SP3 oleh KPK diperlukan. Bukan karena untuk menghilangkan kekhususan KPK, tapi kewenangan tersebut, punya maksud memberikan dasar hukum agar KPK, juga tak serampangan menetapkan tersangka.
"Ini (SP3), demi hukum," kata dia, dan melanjutkan, "Bukan di SP3 karena kurang bukti. Itu gak benar. Kalau kurang bukti jangan ditetapkan tersangka. Itu bodoh penyidiknya,"ujar dia.