REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis Pekerja Rumah Tangga (PRT) menginginkan ada perlindungan upah bagi para pembantu atau pekerja rumah tangga.
"Sebaiknya memang diatur untuk pengaturan pemberian upah, agar para pekerja mendapat hak sesuai kewajibannya," kata Koordinator Jala PRT Lita Anggraini di Jakarta, Kamis (11/6).
Lita menjelaskan, masih banyak pembantu yang dibayar secara tidak layak. "Nominalnya masih banyak yang tidak layak. Bahkan ada yang belum dibayar selama berbulan-bulan dengan alasan masih ditabung," katanya.
Lita menginginkan UU yang mengatur tentang perlindungan Pekerja Rumah Tangga segera disahkan DPR. Selain itu, ia juga meminta pembantu tidak lagi direndahkan kinerjanya dengan cara disebut sebagai pekerja rumah tangga, bukan pembantu rumah tangga.
Dengan disebut sebagai pekerja, maka peraturan dan pengakuan keahlian yang dimiliki bisa didapat sesuai dengan kinerjanya mengurus rumah tangga. "Pembantu kan kesannya seperti budak. Padahal Indonesia bukan negara dengan sistem perbudakan seharusnya tidak memperlakukan dengan merendahkan pekerjaannya," katanya.
Dalam tuntutan disahkan undang-undang PRT beberapa diantaranya adalah adanya perjanjian kerja dengan tuan rumah atau atasan. Kemudian waktu kerja, diatur sesuai kemampuan kerjanya seperti paruh waktu atau jenis bekerja penuh.
Perlu juga diberikan jaminan sosial, agar kesejahteraan pekerja rumah tangga lebih terjamin masa depannya. Setelah itu ada hal yang mengatur tentang usia kerja bagi PRT. "Masih banyak PRT yang bekerja di bawah usia wajar, atau masih anak-anak, hal ini sangat mengkhawatirkan, karena itu bukan usia mereka dalam mencari perkerjaan," tuturnya.
Ia berharap UU segera disahkan, agar nasib PRT tidak direndahkan dan dimanfaatkan agen-agen palsu penyalur jasa PRT.