REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik tempat kelahiran Presiden pertama RI, Sukarno, dimaknai PDIP sebagai hausnya rakyat atas kebenaran sejarah. Khususnya yang berkaitan dengan bapak bangsanya, Bung Karno.
"Terbukti bahwa ide, cita-cita, gagasan dan perjuangan Bung Karno selalu hidup dan tidak bisa ditenggelamkan oleh berbagai proyek 32 tahun desukarnoisasi," kata Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto di Jakarta, Ahad (7/6).
Bung Karno, kata dia, tidak hanya dicintai rakyat dan masuk dalam sanubari rakyat Indonesia. "Bung Karno ada di setiap jejak sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa. Dedikasi hidupnya benar-benar dipersembahkan untuk bangsa dan negara," tegas Hasto.
Hal itu berbeda dengan realitas akhir-akhir ini, di mana kekuasaan lebih sering dijadikan alat mobilisasi kekayaan daripada membangun peradaban politik antipenjajahan dan penghisapan. Menurut Hasto, sejarah akhirnya membuktikan kebesaran Sukarno, dan terbukti ideologi yang digali dari bumi Indonesia tidak pernah mati.
"Sebagai contoh adalah sila ke lima Pancasila. Itu merupakan sila yang sangat progresif dengan cita-cita keadilan sosial. Keadilan dalam ranah politik, ekonomi, dan kebudayaan. Keadilan sosial yang membuat negara harus berpihak pada kaum miskin, dan membebaskan kemiskinan sistemik yang kembali menjelma sebagai penjajahan baru di bidang ekonomi," paparnya.
Dengan menempatkan sejarah pada kebenarannya, dengan seluruh cita-cita politik pembebasan atas dasar nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial untuk kesejahteraan rakyat. "Maka berbagai polemik yang kurang produktif tersebut harus diubah menjadi positif, yakni prakarsa aktif pemerintah untuk meluruskan sejarah bangsanya," imbau Hasto.
Sebab, tambah dia, Indonesia tidak akan bangkit menjadi bangsa besar tanpa berdamai dengan masa lalunya. "Inilah momentum untuk mengobarkan kembali martabat dan kehormatan bangsa dengan kembali pada ide, pemikiran, gagasan, dan perjuangan Bung Karno," ucap Hasto.
Sebelumnya dalam pidato di acara peringatan hari lahir pancasila di Blitar, 1 Juni 2015, Presiden Jokowi salah menyebutkan Blitar sebagai tempat kelahiran Soekarno. Padahal Soekarno lahir di Surabaya. Kesalahan Jokowi itu menuai kritik publik. Dan belakangan penyusun pidato Jokowi itu yakni Sukardi Rinakit mengakui hal itu merupakan kesalahannya.