REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Prosedur perlindungan saksi dan korban di Indonesia yang selama ini dijalankan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menarik minat penegak hukum dari negara Pakistan.
Sebanyak 15 delegasi Pakistan itu juga tertarik dengan mandat LPSK yang sangat luas. “Perlakuan sama juga dilakukan pada kasus di mana pelakunya bukan aparat, namun memiliki hubungan atau kekuasaan,” kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, Selasa (2/6).
Pada beberapa kasus, di mana terdapat oknum aparat hukum yang terlibat, LPSK melakukan perlindungan secara mandiri. Pada kasus dengan resiko konflik kepentingan di dalamnya, kata Semendawai, LPSK berkoordinasi dengan pimpinan dari pelaku agar tidak terjadi intervensi.
Untuk itu, LPSK menjalin kerja sama melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU), seperti antara LPSK dan Polri. “Bagi pihak-pihak yang mengganggu perlindungan LPSK, ancamannya pidana sesuai amanat undang-undang (UU),” ujar dia.
Selain Polri, LPSK juga menjalin MoU dengan instansi terkait lainnya, khususnya dalam hal perlindungan dan layanan bantuan medis, psikologis maupun psikososial.
“Tak semua saksi korban diberikan perlindungan fisik, ada yang cukup didampingi saat sidang,” kata Wakil Ketua LPSK Lies Suliatini.
Ia mengungkapkan, pada 2014, terdapat ribuan jiwa yang mendapatkan perlindungan dari LPSK. Namun, hanya 121 orang yang mendapatkan perlindungan fisik. Perlindungan fisik ini, kata dia, juga sangat tergantung pada kesepakatan dengan pemohon.