REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Jumat (29/5) lalu membeberkan temuannya terkait kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada DPR. Antara lain disebutkan, adanya indikasi kerugian negara senilai Rp 34,3 miliar yang dilakukan oleh KPU pada kurun tahun 2013-2014. Selanjutnya, BPK telah diminta oleh DPR untuk melakukan audit khusus terkait kesiapan KPU untuk menyelenggarakan Pilkada serentak tahun ini.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menuturkan, ada nuansa politis yang mewarnai permintaan audit khusus tersebut. Apalagi, setelah KPU dalam penyusunan Peraturan KPU tidak memakai rekomendasi yang telah dirumuskan oleh Komisi II DPR.
"Memang yang jadi persoalan, permintaan audit ini kan muncul dari DPR pasca-penolakan KPU untuk mengakomodir rekomendasi dari DPR," kata Titi Anggraini, Ahad (31/5).
Namun, lanjut Titi, KPU tidak perlu bersikap reaktif terhadap temuan BPK yang telah dipaparkan kepadad DPR itu. Titi menilai, permintaan audit penggunaan uang negara tidak bisa semata-mata disandarkan pada keinginan dari institusi manapun, termasuk DPR. Titi menegaskan, audit oleh BPK adalah proses yang normal bagi semua institusi negara.
"Saya kira, tanpa diminta oleh DPR pun, setiap anggaran negara memang wajib diaudit."
"Selama ini, KPU sudah diaudit. Jadi, poinnya adalah, semua anggaran negara memang wajib diaudit," sambung dia.