REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting, menilai tidak perlu adanya lembaga ataupun komite baru yang betugas melakukan pengawasan secara khusus terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap sudah mencakup dan mengatur pengawasan kepada KPK.
Miko menyebut, pengawasan itu tidak selalu hadir dalam bentuk pembentukan lembaga atau komite baru di luar ataupun di dalam internal KPK sendiri. ''Tapi yang perlu dipikirkan, bagaimana membentuk sistem yang efektif untuk menekan celah-celah penyalahgunaan kekuasaan dan efektif melakukan pengawasan itu,'' kata Miko usai diskusi dengan tema 'Duh KPK' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/5).
Lebih lanjut, Miko menambahkan, di UU KPK sebenarnya sudah cukup efektif dalam melakukan pengawasan itu. Miko memberi contoh, untuk dugaan pelanggaran etik, KPK sudah memiliki pengawas internal lewat komite etik. Komite ini beranggotakan unsur masyarakat, unsur KPK, dan unsur penasihat KPK. Sehingga ada kontrol soal kelembagaan.
Pun dengan adanya dugaan unsur penyalahgunaan kekuasaan dalam penetapan tersangka korupsi, Menurut Miko, berdasarkan pasal 44 UU KPK, penetapan tersangka harus dilakukan berdasarkan hasil pertemuan antara penyidik, penyelidik, pimpinan KPK, dan Jaksa. Sehingga penetapan tersangka tidak dilakukan berdasarkan keputusan pimpinan semata.
''Jadi secara struktur dan sistem, didukung UU KPK juga, di KPK itu sudah membuat sistem pengawasan itu sudah berjalan efektif,'' ujar Miko.
Bahkan, Miko menambahkan, setiap tahunnya KPK kerap mengeluarkan hasil audit kinerja mereka, berapa perkara yang sudah diselesaikan, berapa kerugian yang sudah dikembalikan ke negara, dan perkara yang tengah ditangani. Dalam UU KPK hal ini juga sudah diatur soal kewajiban pemenuhan hak publik terkait akuntabilitas dan transparansi KPK. '
'Termasuk meminta laporan keuangan dari KPK,. Dengan UU yang ada sekarang, akuntabilitas dan transparansi KPK tetap terjaga,'' katanya.
Terkait munculnya wacana revisi UU KPK untuk bisa menguatkan peran KPK itu sendiri, Miko menilai, rencana tersebut tidak relevan dengan upaya penguatan KPK. Menurutnya, tidak ada urgensi yang untuk melakukan revisi tersebut. Miko menyebut, justru yang harus direvisi adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika dengan asumsi KPK itu hadir lantaran kerja Kepolisian dan Kejaksaan Agung belum maksimal, maka saat ini juga harus bisa diperhatikan untuk dapat membuat kinerja dua lembaga itu bisa maksimal, terutama dalam pemberantasan korupsi. Artinya, jangan dilihat dari satu sisi atau dari KPK saja, padahal Kepolisian dan Kejaksaan Agung dapat menjadi senjata yang efektif dalam memberantas korupsi.
''Daripada merevisi UU KPK, ada baiknya langsung dilihat ke KUHAP yang membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan potensi korupsi itu, Selain itu, pemerintah itu harus bisa mendorong Kepolisian dan Kejaksaan untuk lebih akuntabel,'' tutur Miko.