REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi publik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai islah dalam sengketa kepengurusan Partai Golkar yang dilaksanakan di Rumah Dinas Wapres Jusuf Kalla, Sabtu (30/5) petang, hanya menunda masalah saja.
"Jika dilihat isi poin islah tersebut, ini hanya islah sementara dengan tujuan hanya untuk mengikuti pilkada serentak saja dan hanya menunda masalah yang lebih besar di depannya," kata Hendri saat dihubungi dari Jakarta.
Masalah yang lebih besar tersebut, kata Hendri, adalah potensi perpecahan karena konflik kepengurusan yang akan menjalar hingga partai di tingkat daerah.
"Jika perjanjiannya seperti ini maka perpecahan selama ini yang terjadi di tingkat pusat, ada kemungkinan menjalar hingga perpecahan di tingkat daerah, karena siapa yang jamin islah ini akan lama bertahan," ujarnya.
Selain itu, jika islah ini tujuannya hanya untuk mengikuti pilkada serentak Desember mendatang, lanjut Hendri, dikhawatirkan ada tuntutan untuk pembagian kekuasaan karena ada dua versi kepengurusan pusat jika islah ini berhenti sehingga yang dikorbankan adalah rakyat juga.
"Nanti mungkin saja ada tuntutan pertanggungjawaban dari pemimpin daerah yang terpilih pada kubu masing-masing misalnya Depok ke Ical, Bekasi ke Agung dan lainnya sehingga lebih menurut pada mereka, padahal seharusnya kepala daerah itu bertanggung jawab pada masyarakat di tempatnya memimpin," kata Hendri
Karena itu, kata Hendri, jalan keluarnya adalah setiap pimpinan Golkar yang berseteru harus mawas diri dan bisa menjaga agar jangan sampai ada perpecahan, caranya adalah dengan semua pihak setuju untuk islah secara permanen.
"Atau bisa saja dimunculkan tokoh baru diluar kedua pihak yang berseteru tersebut, pertimbangannya Golkar ini adalah partai yang mature sehingga saya lihat semua orang bisa menjadi ketuanya," ujarnya.