REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inisiator revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah menyerahkan usulan revisi pada pimpinan DPR RI akhir pekan lalu. Hingga hari ini, usulan revisi UU Pilkada ini belum diserahkan ke Badan Legislatif (Baleg) untuk diharmonisasi.
Bahkan, rencana usulan revisi UU Pilkada ini dibawa ke rapat Paripurna DPR, Kamis (28/5) urung dilakukan. Sebab, hingga saat ini, agenda dalam sidang paripurna hanya mendengar tanggapan pemerintah atas tanggapan fraksi-fraksi.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN), Yandri Susanto mengatakan, dalam agenda sidang paripurna nanti, tidak ada agenda pembahasan atas usulan revisi UU Pilkada.
Namun, kalaupun ada interupsi dari anggota untuk dilakukan pembahasan revisi UU Pilkada ini, tidak serta merta dapat dilakukan di sidang paripurna. Harus dibawa ke Baleg terlebih dahulu.
"Sampai saat ini belum ada agenda revisi UU Pilkada di rapat paripurna besok," katanya di kompleks parlemen, Rabu (27/5).
Ia menambahkan, pembahasan revisi UU Pilkada memerlukan lobi yang lebih intensif di antara fraksi-fraksi di DPR sendiri. Selain itu, DPR juga masih membutuhkan persetujuan dari pemerintah untuk melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada ini.
Padahal, hingga saat ini, di internal DPR sendiri, antar fraksi masih belum kompak untuk melakukan revisi. Terlebih, pemerintah sudah tegas menyatakan menolak untuk melakukan revisi UU Pilkada.
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, pembahasan atau pembuatan UU harus dilakukan antara DPR dengan Pemerintah. Artinya, posisi DPR dan Pemerintah sama. Menurut Sekretaris Fraksi PAN ini, kalau di DPR sudah kompak untuk melakukan revisi UU Pilkada, tidak akan dipandang sebagai usulan perorangan, tapi institusi DPR.
Namun, tahap selanjutnya tetap membutuhkan persetujuan pemerintah agar pembahasan revisi dapat dilakukan. Kalau pemerintah tetap tidak ingin ada revisi maka usulan revisi UU Pilkada akan mandeg.
"Ini namanya bertepuk sebelah tangan," tegasnya.