Ahad 24 May 2015 08:23 WIB
Pilkada serentak

KPK Awasi Pilkada Serentak

Rep: Arie Lukhardianti/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pemungutan suara dalam pilkada.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi/ca
Pemungutan suara dalam pilkada.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Komisi Pemberantasan Korupsi akan turun langsung mengawasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada Desember mendatang. Pengawasan ini dilakukan, untuk mencegah terjadinya korupsi ketika peserta Pilkada terpilih menjadi kepala daerah.

Komisioner KPK Adnan Pandu Praja mengatakan, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah salah satunya dikarenakan tingginya biaya yang diperlukan untuk mengikuti ajang demokrasi ini. Tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan calon kepala daerah menjadi potensi pejabat negara tersebut melakukan korupsi.

"Sumber utama korupsi bukan semata lemahnya penegakkan hukum," ujar Adnan akhir pekan lalu.

Namun, kata dia, uang mahar sampai biaya kampanye pada akhirnya berpotensi menyandera kepala daerah. Selama ini, pihaknya sering memantau pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah. Berdasarkan itu, praktik politik uang terjadi di hampir seluruh daerah. "Itu memprihatinkan," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, dalam pilkada serentak ini, pihaknya akan turun langsung memantau pelaksanaannya di 11 daerah yang menggelar pemilihan gubernur-wakil gubernur. Di antaranya, Bengkulu, Jambi, Lampung, dan Kalimantan Selatan.

"Dengan keterbatasan kami, pilkada serentak ini 200 lebih lokasi. Jadi kami mengawasi 11 lokasi," katanya.

Dalam pemantauannya, kata Adnan, KPK akan menyusun buku putih yang akan menjadi alat untuk mengukur kinerja peserta pilkada saat terpilih nanti. Buku itu, untuk memantau janji implementasi. Itu, salah satu komitmen yang bisa ditagih masyarakat. "Komitmen ini yang bisa kita pegang untuk mengontrol," katanya.

Dikatakan Adnan, praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah pun terjadi karena lemahnya pengawasan DPRD. Menurut dia, hal ini bisa terjadi karena adanya kesepakatan-kesepakatan tertentu antara eksekutif dan legislatif ini.

"DPRD seyogyanya menjadi mitra pengawasan yang baik. Kita tahu, hanya Ahok (Gubernur DKI Jakarta). Kenapa hanya DKI? Apakah di tempat lain sudah ada 'deal-deal'," katanya.

Selain itu, kata Adnan, diperlukan juga peran serta istri dalam mencegah praktik korupsi di kalangan pejabat negara ini. Menurut Adnan, tidak sedikit istri yang mendorong suaminya untuk berbuat korupsi. "Bahkan istri menjadi tempat persembunyian (hasil) korupsi. Istri harus mendorong suaminya agar anti korupsi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement