REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Kesadaran narapidana terorisme diharapkan dapat memberi harapan untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Yaitu, di bawah ideologi Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
"Ini adalah momen penting sadarnya saudara-saudara kita yang pernah salah jalan. Ini menjadi harapan perdamaian abadi di Indonesia. Semoga ini bisa menggugah napi terorisme lainnya segera sadar dan kembali ke pangkuan Indonesia. Kesadaran ini lahir dari nurani dan mereka bisa terus menjaga harapan dan keyakinan tersebut selama-lamanya," ujar pakar psikologi politik UI, Hamdi Muluk, Jumat (22/5).
Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 2015 di Lapas Kelas 1 Porong, Sidoarjo, Jawa Timur mantan gembong teroris Umar Patek alias Hisyam bin Alizein membuktikan kecintaannya pada NKRI dengan menjadi petugas pengerek bendera Merah Putih.
Umar bersama empat napi terorisme Poso dan Ambon menyatakan kesetiaannya kepada NKRI. Proses penyadaran napi terorisme itu merupakan hasil sinergi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kemenkumham, dalam hal ini Lapas Porong.
Sebelumnya, mantan teroris Jemaah Islamiyah (JI) Ustadz Abdurrahman Ayyub telah lebih dulu mengikrarkan kesetiaannya kepada NKRI. Ia saat ini aktif membantu BNPT dalam melakukan proses penyadaran kelompok radikal yang ada.
"Saya kira apa yang dilakukan Umar Patek dengan menjadi petugas pengerek bendera itu adalah momen yang penting. Tentunya itu memerlukan waktu yang tidak pendek dan dibutuhkan proses pendekatan dan penyadaran yang cukup rumit. Karena biasanya napi terorisme sulit didekati dan diajak bersosialisasi di luar kelompoknya," kata Hamdi.
Menurut dia, proses penyadaran napi terorisme jelas berbeda dengan napi tindak pidana biasa. Karena membutuhkan perenungan serta strategi tepat untuk bisa mengajak mereka berkomunikasi.
"Ini hasil perenungan panjang karena teman-teman (napi terorisme) pernah punya keyakinan dan terpikat ideologi teroris serta tergiur iming-iming bahwa kita butuh negara Islam, dan harus ditempuh dengan kekerasan. Mereka juga berpikir bahwa hanya orang yang sepaham dengan mereka yang bisa mengelola negara. Jadi harus ada pendekatan secara khusus kepada mereka," ungkap Hamdi.
Ia menilai, harapan para napi terorisme tentang negara Islam merupakan konsep yang tidak beralasan. Hal itu harus terus ditanamkan kepada mereka sekaligus meyakinkan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara dibawah ideologi Pancasila merupakan suatu keniscayaan.
"Sekarang kita harus terus membina dan merangkul mereka untuk bisa menjalani dan mengisi kehidupan yang lebih baik. Artinya, setelah proses penyadaran ini, harus ada proses lanjutan untuk mengantar mereka kembali ke masyarakat, setelah bebas dari penjara nanti," ujar dia.
Ketua Dewan Kehormatan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Dr Suhardi Somomoeldjono menambahkan, fenomena menyatakan setia pada NKRI sebagai rasa nasionalisme yang bangkit kembali dalam diri Umar.
Kesadaran Umar disebut buah spiritualnya yang panjang. "Pekerjaan BNPT dan Kemenkumham untuk melakukan pembinaan seperti ini harus diteruskan untuk membangkitkan kedasaran napi teorisme lain untuk kembali ke NKRI,” kata Suhardi.
Usai menjadi petugas pengerek bendera Merah Putih, Umar alias Hisyam bin Alizein menegaskan, kesadaran yang muncul di dirinya murni dari hati nurani, bukan karena dipaksa atau terpaksa.
"Kami itu bukan mesin pembunuh, bukan monster. Mereka punya hati, mereka juga punya nurani dan kasih sayang. Ketika dilakukan pendekatan, seperti yang dilakukan di Lapas Porong ini, mereka tentu akan baik," ungkap Umar.
Umar divonis 20 tahun penjara oleh majelias hakim PN Jakarta Barat, 21 Juni 2012. Ia dianggap terlibat bon malam Natal pada 2000 serta Bom Bali I pada 2002. Setelah tiga tahun menjalani masa tahanan, Umar kini telah sadar dan berpikir untuk kembali ke masyarakat sebagai manusia normal.