REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Janji-janji kampanye yang tidak ditepati akan menjadi isu utama dalam Forum Ijtima' Ulama di Tegal, 7-10 Juni mendatang. Setidaknya, ada tiga hal yang dipertanyakan oleh Majelis Ulama Indonesia mengenai status janji kampanye.
"Para calon pemimpin sering mengeluarkan janji-janji selama kampanye, tapi setelah menjadi pemimpin janji itu tidak ditepati. Kita juga tidak mengetahui kejelasan status janji ini dan mekanisme formal untuk menagihnya, " kata MUI dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/5).
Pertanyaan pertama, mengenai status hukum janji kampanye yang disampaikan oleh calon pemimpin rakyat. MUI merasa tidak ada kejelasan tentang status janji kampanye tersebut, apakah hanya sebatas rencana atau janji yang harus ditepati. Konsekuensi dari dua hal ini berbeda dalam pandangan Islam.
Masalah kedua, hukum pengingkaran terhadap janji kampanye yang dilakukan oleh pemimpin. Jika janji itu dianggap sebagai hutang, mau tidak mau pemimpin dituntut untuk menepatinya. Hutang tersebut tidak serta merta lunas, bahkan ketika orang yang bersangkutan meninggal.
Terakhir, MUI juga mempertanyakan hukum taat pada pemimpin yang tidak menepati janji. Salah satu kewajiban rakyat adalah taat kepada pemimpinnya. Dalam kaitannya dengan pemimpin yang tidak menepati janji, bagaimana hukum ketaatan rakyat terhadap pemimpin seperti itu.
Lebih jauh lagi, bolehkah rakyat menuntut janji itu dan bagaimana mekanismenya. Jika kewajiban akan ketaatan itu tidak lagi melekat, apa yang dilakukan. MUI mempertanyakan, dalam kasus seperti itu bolehkah rakyat melakukan pembangkangan, termasuk menarik mandat kepemimpinan.