Kamis 21 May 2015 16:17 WIB

Pilkada Pakai APBD Rawan Politisasi Anggaran

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Esthi Maharani
pilkada
pilkada

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masih bermasalahnya anggaran untuk Pilkada di beberapa daerah ditengarai bukan hanya persoalan rendahnya ruang fiskal daerah sehingga menyebabkan ketidaktersediaan anggaran. Forum Indonesia untuk Trasparansi Anggaran (FITRA) menilai persoalan anggaran juga disebabkan adanya permainan anggaran oleh petahana yang akan maju pada Pilkada mendatang.

Seknas FITRA Yenny Sucipto mengatakan dari hasil pemantauan FITRA di daerah ada kecenderungan petahana yang berkuasa untuk menahan anggaran demi melanggengkan kekuasaannya dalam Pilkada.

“Ada proses tawar menawar agar anggaran dicairkan, pada saat tertentu akan dicairkan jika situasi menguntungkan bagi dirinya,” ujar Yenny dalam diskusi FITRA di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (21/5).

Yenny mengatakan penggunaan anggaran Pilkada melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) rawan politisasi anggaran oleh elit dan juga berpotensi korupsi daerah. Hal itu dikarenakan dalam mengalokasikan anggarannya terdapat celah untuk memainkan politik uang melalui dana bantuan sosial dan hibah.

“Ini membuka peluang permainan aktor-aktor dalam pembahasan APBD, kalau sesuai diinginkan di-ACC kalau tidak ditahan, ini masalah yang juga diharapkan daerah juga,” ujarnya.

Selain itu, penggunaan anggaran APBD ini juga menurut Yenny mendesak daerah yang memang kebijakan fiskalnya rendah untuk mengalokasikan anggaran Pilkada yang besar. Terlebih menurutnya, semua biaya penyelenggaraan Pilkada diakomodir oleh APBD termasuk item pembiayaan kampanye.

Dia menyebutkan pantauan 173 dari 269 daerah peserta Pilkada hanya 35 daerah yang ruang fiskalnya diatas 35 persen, sementara daerah lainnya di bawah 35 persen. Ini juga yang menyebabkan daerah terpaksa menyilangkan dana demi menutupi pembiayaan Pilkada yang besar.

“Keterlambatan ini jangan dibebankan ke daerah semata, karena jelas semua daerah tidak bisa disamaratakan anggarannya, tapi ini juga kesalahan Kemendagri dalam mewanti-wanti dan membuat aturan sejak 2014,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement