REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Hukum dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Noorhaidi Hasan, menilai terlalu dini jika beberapa pihak menyarankan penggantian Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laily. Menurutnya, pihak-pihak yang menginginkan digantinya Menkumham lebih banyak mementingkan faktor politis.
"Mereka yang menyerukan penggantian Yasonna lebih mementingkan faktor politis. Padahal, Presiden sendiri belum melakukan evaluasi terhadap kinerja Menkumham," ujarnya saat dihubungi ROL, Selasa (19/5).
Noorhaidi juga memandang, seruan penggantian Menkumham lebih banyak berasal dari pihak yang bersengketa di Partai Golkar. Seruan semacam ini, kata dia, belum tentu memberikan dorongan kuat terhadap sikap presiden.
"Diganti atau tidaknya seorang menteri sepenuhnya kehendak presiden. Sebelum penggantian, ada sejumlah proses evaluasi yang harus dilakukan. Dalam konteks sengketa Golkar, ada dua kemungkinan yang terjadi," lanjutnya.
Kemungkinan pertama, jika ada tekanan politis dari pihak yang memenangkan peradilan atau dari DPR, penggantian Menkumham berpeluang terjadi. Sebaliknya, jika hasil evaluasi tidak mempengaruhi pendapat presiden tentang kinerja menteri, maka Menkumham tetap dipertahankan.
Seperti diketahui, pada Senin (18/5), PTUN mengumumkan pembatalan terhadap SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Kubu Agung Laksono. Dengan adanya putusan ini, maka sudah dua kali penetapan SK Menkumham terkait kepengurusan parpol menjadi polemik hukum.
Sebelumnya, Menkumham mengeluarkan SK yang mengesahkan kepengurusan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Romahurmuziy. Sengketa kepengurusan PPP kini sedang dalam proses banding di PT TUN setelah sebelumnya PTUN mengabulkan gugatan kubu Djan Faridz yang menuntut pembatalan SK.