REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Juru bicara PPP hasil Muktamar Surabaya Arsul Sani mengungkapkan tiga alasan menolak rencana revisi UU Pilkada karena hanya untuk mengakomodasi kepentingan parpol yang kepengurusannya sedang berperkara di pengadilan.
"Pertama, sesuai UU No 12 Th 2011, khususnya Pasal 23 maka perubahan atau pembuatan UU baru diluar Prolegnas hanya dimungkinkan jika ada kepentingan nasional yang urgen," kata Arsul Sani di Jakarta, Senin.
Dia menjelaskan parameter revisi UU Pilkada harus jelas yakni kepentingan nasional bukan kepentingan sekelompok orang dalam suatu parpol.
Karena itu, menurut Arsul, apabila urusan 1-2 parpol berselisih kemudian harus merevisi UU Pilkada, maka itu "menabrak" pasal 23 UU no 12 tahun 2011.
"Kedua, jika revisi itu untuk mengakomodasi kesepakatan di Komisi II tentang penggunaan putusan pengadilan terakhir meskipun belum berkekuatan hukum tetap maka revisi itu justru akan menjadikan UU Pilkada bertentangan dengan UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan," ujarnya.
Dia menjelaskan dalam pasal 115 UU PTUN ditegaskan bahwa hanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap saja yang dapat dilaksanakan.
Karena itu menurut Arsul KPU akan langgar UU PTUN kalau pakai putusan pengadilan yang terakhir namun belum inkracht dan juga akan melanggar Pasal 7 ayat 2 dan Pasal 19 UU Administrasi Pemerintahan.
Dia menjelaskan UU Administrasi Pemerintahan meletakkan prinsip bahwa surat keputusan pejabat administrasi pemerintahan tetap sah sampai dengan dibatalkan melalui putusan pengadilan yang inkracht. "Selama belum inkracht maka harus dianggap sah," katanya.
Ketiga dari sisi moralitas kerja DPR menurut dia, revisi UU Pilkada akan menunjukkan bahwa DPR hanya sigap dalam kerja legislasi apabila menyangkut kepentingan partai politik.
Sementara itu menurut dia, RUU-RUU dalam Prolegnas Prioritas yang nota bene merupakan kepentingan rakyat belum banyak yang disentuh.
"Jadi bagi PPP seharusnya jalan keluar untuk penyelesaian persoalan keikutsertaan parpol berkonflik harusnya melalui cara lain seperti yang juga sudah diusulkan Mendagri," katanya.
Dia mengatakan usulan Kemendagri itu antara lain dengan mengadakan konsultasi dan membangun kesepakatan dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi.
Menurut dia, seandainya tidak ada putusan tetap sampai dengan pendaftaran pilkada serentak maka kembali kepada prinsip-prinsip yang ada dalam ketentuan UU Administrasi Pemerintahan dan UU Partai Politik untuk menentukan kepengurusan yang sah.
"Kembali kepada prinsip yang ada dalam ketentuan UU Administrasi Pemerintahan dan UU Parpol untuk tentukan kepengurusan mana yang sah dan berhak mewakili parpol yaitu yang memiliki legalitas SK dari Kemenkumham," katanya.