REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Pakar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Bengkulu, Muhammad Yamani mengatakan hak politik perempuan dijamin dengan tegas dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kendati demikian, ia tak menutup kemungkinan bahwa kultur masih menghambat.
"Secara struktural hak politik perempuan dijamin, tapi kendala utama biasanya muncul dari kultur," katanya, Sabtu (9/5).
Saat lokakarya dengan tema "memperkuat kepemimpinan perempuan akar rumput", ia mengatakan, perwakilan kelompok perempuan harus terlibat dalam musyawarah desa. Keterlibatan perwakilan kelompok perempuan dalam musyawarah perencanaan dan pembangunan desa (Musrenbangdes), diharapkan mampu menyuarakan kepentingan kaum perempuan.
"Misalnya dana desa dialokasikan untuk beasiswa calon bidan yang akan melayani kesehatan di desa tanpa harus menunggu penempatan dari pemerintah," kata dia.
Dalam Undang-Undang Desa juga diatur tentang keterwakilan perempuan dalam Badan Perwakilan Desa (BPD). Persoalannya kata Yamani muncul dari sisi kultural atau persetujuan suami atau keluarga yang tidak memberikan ruang bagi perempuan mengekspresikan kemampuannya. Selain itu, perempuan kurang gigih merebut atau memperjuangkan haknya.
"Banyak perempuan juga membatasi diri sendiri, misalnya dalam rapat-rapat langsung ke dapur dan menyiapkan konsumsi, padahal diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat," ucapnya.