REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Janji-janji kampanye calon pemimpin kepada rakyat akan menjadi pembahasan dalam Ijtima' Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Tegal, Jawa Tengah pada Juni nanti. Pada forum yang akan dihadiri oleh Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia, peserta akan menyikapi hukum pimpinan yang tidak menepati janji kampanye dan hukum rakyat terhadap pemimpin itu.
Politisi PKS yang juga wakil ketua MPR, Hidayat Nur Wahid mengaku menghargai niat ulama yang akan mengadakan ijtima' untuk membahas fatwa pelanggaran janji kampanye. Namun, menurutnya harus ada beberapa hal yang diperhatikan sebelum penetapan fatwa itu dilakukan. Salah satunya yaitu melakukan tabayun atau klarifikasi kepada para politisi yang akan diberikan sanksi tersebut.
"Tentu hak para ulama untuk melakukan ijtima' untuk membahas janji kampanye tersebut. Namun, para ulama dapat mempertimbangkan akurasi berita sehingga bisa akurat," ujar Hidayat Nur Wahid kepada Republika, Senin (4/5).
Ia menjelaskan, tabayun diperlukan agar ulama mengetahui alasan tidak terpenuhinya janji kampanye yang diucapkan politisi. Ini dikarenakan, beberapa kinerja politisi seperti DPR sangat tergantung pada pemerintah. Misalnya dalam proses pembuatan undang-undang. Sehingga, jika ada program dari DPR yang tidak terealisasi dikarenakan tidak adanya keseimbangan antara pemerintah.
Untuk itu, mengundang pihak-pihak yang akan dikritisi menjadi penting agar hukum yang ditetapkan terjait ingkar janji kampanye tersebut bisa adil dan akurat.
Ia menambahkan, agar fatwa ini dapat berjalan efektif maka ulama harus mampu mengkomunikasikannya kepada pihak yang dikritisi. Ini dikarenakan, jika tidak dikomunikasikan maka fatwa tidak akan berjalan dengan maksimal.