REPUBLIKA.CO.ID, SOREANG -- Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung mengaku kesulitan untuk menerapkan aturan tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan, atau yang juga biasa disebut lahan hijau abadi.
Kepala Distabunhut Kabupaten Bandung, Tisna Umaran menuturkan, seharusnya penerapan lahan hijau abadi ini juga dibarengi dengan penegakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
"Penegakan aturan ini kan harusnya juga dengan penegakan IMB. Secara aturan IMB itu tidak diizinkan kalau misalnya (lokasi dibangunnya rumah) itu berada di tata ruang untuk lahan pertanian," katanya, Jumat (1/5).
Tisna mengakui kondisi tersebut membuat pemerintah daerah kesulitan menegakkan aturan lahan hijau abadi. "Ya itulah yang paling sulit penanganannya ya seperti itu. Lahan sendiri, kemudian dibangun," tambah dia. Apalagi, kata dia, rumah itu dibangun oleh warga pribumi asli dengan alasan tidak ada lahan lagi.
"Tapi kan kenyataannya susah juga untuk masyarakat yang benar-benar enggak punya lahan lagi, ya susah. Ya begitulah kenyataan di lapangan, rumah sendiri, tanah sendiri," ujar dia.
Karena itu, menurut Tisna, penanganan terhadap pembangunan di atas lahan hijau abadi ini juga ada di tataran perizinan IMB dan juga pihak kecamatan. Sebab, untuk lahan yang di bawah 150 meter persegi, IMB-nya dikeluarkan oleh pihak kecamatan. "Kecamatan harusnya berpedoman pada aturan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)," kata dia.
Tisna juga menjelaskan, pengawasan terhadap peraturan lahan hijau abadi ini seharusnya dilakukan pihak desa. Sebab, jika sebuah desa sudah memiliki Perdes tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan, maka harusnya yang mengawasi desa. "Karena kan ada aturan Perdes, desa yang harus mengawasi," ujar dia.
Ada dua desa di Kabupaten Bandung yang sudah memiliki Peraturan Desa tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan, yakni Desa Sangkanhurip di Kecamatan Katapang, dan Desa Sumbersari di Kecamatan Ciparay.