REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eksekusi mati terhadap dua warga asal Australia memicu ancaman negeri Kangguru yang akan menarik duta besarnya dari Indonesia. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menilai ancaman penarikan duta besar Australia di Indonesia merupakan hal yang wajar.
"Dalam hubungan diplomatik itu biasa saja. Kita juga pernah menarik duta besar kita dari sana, jangan lupa," jelas JK di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (29/4).
Lebih lanjut, penarikan ini biasanya hanya berlangsung sementara. Ia pun optimis dalam satu hingga dua bulan, duta besar yang ditarik pun akan kembali lagi ditempatkan di Indonesia.
Penarikan duta besar, kata dia, hanya merupakan bentuk protes terhadap eksekusi mati yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap WN asal Australia itu.
"Itu hanya menandakan tanda protes, kita juga sering begitu mengembalikan duta besar dari Australia, dari Brasil, biasa saja dalam hubungan diplomatik bukan hal yang anu sekali, biasa saja," jelas Wapres.
JK juga menilai penarikan duta besar serta eksekusi mati terhadap WN Australia ini tak akan mengganggu hubungan perdagangan antar dua negara. Sebab, tambah dia, selama ini Indonesia justru hanya mengimpor barang perdagangan dari negeri Kangguru itu.
"Perdagangan dengan Australia kita lebih banyak impor dari Australia. Berarti kalau kita hentikan perdagangan, dia rugi," kata Kalla.
Pada Rabu (29/4) dini hari, delapan terpidana mati kasus narkoba telah dieksekusi mati. Mereka adalah Andrew Chan (WN Australia), Myuran Sukumaran (WN Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Rodrigo Gularte (Brasil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), serta Okwudili Oyatanze (Nigeria).