Rabu 29 Apr 2015 10:30 WIB
Tokoh Perubahan Republika 2014

Bupati Azwar Anas Menyulap Wilayah Terisolasi

Rep: Andi Nurroni/M Hafil/ Red: Erik Purnama Putra
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Foto: Prayogi/Republika
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap tahun Republika memberikan anugerah Tokoh Perubahan. Anugerah diberikan kepada figur-figur yang berprestasi di bidangnya dan melakukan perubahan di tengah masyarakat. Tahun ini Republika memilih enam tokoh yang dipandang pantas untuk menerima anugerah itu. Berikut kiprah Tokoh Perubahan Republika 2014.

Kabupaten Banyuwangi tak lebih dari terminal persinggahan bagi wisatawan yang hendak berlibur ke Pulau Bali. Di ujung timur Pulau Jawa itu, para pelancong 'terpaksa' turun dari kereta atau bus mereka untuk selanjutnya berganti kapal feri menuju Pulau Dewata.

Dikelilingi hutan berbukit dan lautan, Banyuwangi adalah tanah terisolasi yang tidak menarik untuk dikunjungi. Namun, kisah di atas telah menjadi sepenggal cerita lama. Sejak 2010, kabupaten berjuluk Bumi Blambangan itu berkembang menjadi primadona pariwisata baru di Indonesia.

Semua terjadi setelah politikus muda Abdullah Azwar Anas terpilih menjadi bupati ke-28 Banyuwangi. Lama bergelut di dunia politik dan tumbuh di kalangan intelektual Nahdlatul Ulama (NU), tak butuh waktu lama bagi Azwar untuk merancang perubahan di tanah kelahirannya itu.

Sedari awal ia memimpin, salah satu prinsip yang ia genggam erat adalah, pembangunan Banyuwangi harus berakar pada kondisi alam dan budaya masyarakat. Dengan kata lain, pantang bagi pria kelahiran 6 Agustus 1973 itu meniru bulat-bulat atau memfotokopi pembangunan di daerah lain.

Keadaan geografis Banyuwangi yang terisolasi, dilingkungi hutan berbukit-bukit, serta selat dan samudera menjadi catatan penting bagi Azwar. Hal penting lainnya, masyarakat Banyuwangi yang mayoritas menganut Islam hidup dalam iklim kegamaan yang kental.  

Dari sana, pria yang kini memahami, bukan Bali yang menjadi kiblat pembangunan wisata Banyuwangi. Azwar juga tidak tertarik menyulap Banyuwangi menjadi metropolitan dengan banyak pusat perbelanjaan, misalnya seperti Surabaya atau Kota Bandung.

Alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu lalu merancang Banyuwangi dengan konsep ekowisata. "Saya membaca, tren di dunia sekarang ini, orang-orang ingin kembali ke alam, menikmati pemandangan, menjelajah hutan, pergi ke laut atau naik ke puncak gunung. Kita punya semua," ujar sang Bupati kepada Republika, di Banyuwangi, awal April 2015.

Sejak saat itu, Azwar mengemas ulang berbagai potensi wisata alam Banyuwangi. Dia menata kawasan Pantai Boom yang kumuh menjadi kawasan pesisir asri, lengkap dengan teater terbuka untuk pertunjukan. Penataan juga dilakukan di pantai-pantai lain dengan karakteristik yang berbeda.

Misalnya Pantai Teluk Hijau yang asyik untuk bersantai atau Pantai Pulau Merah dan Pantai Plengkung yang menjadi favorit para peselancar. Untuk memudahkan akses, Bandara Blimbingsari yang diresmikan pada 2010 diperluas dari 1.400 meter menjadi 1.800 meter. Kini, tempat terisolasi itu memiliki rute penerbangan langsung ke Surabaya dan Jakarta.

Infrastruktur jalan juga terus diperpanjang dan diperbaiki hingga leluasa menjangkau tempat-tempat wisata unggulan lainnya, seperti Kawah Ijen dan Taman Nasional Alas Purwo. Kebersihan lingkungan pun tak luput dari perhatiannya untuk memunculkan kesan baik di mata para pelancong.

Pada tahun pertamanya menjabat, Banyuwangi pernah menyandang sebagai daerah terkotor kedua se-Jawa Timur. Namun, atas kerja kerasnya, Banyuwangi disulap menjadi daerah yang bersih. Pada 2013 dan 2014, Banyuwangi mendapat Piala Adipura. Sebuah pengakuan pemerintah pusat terhadap daerah yang memiliki lingkungan bersih.

Sejalan dengan itu, demi menarik perhatian masyarakat luas, Azwar menggencarkan promosi. Tak kurang dari 38 ajang diselenggarakan pemerintah kabupaten setiap tahun. Berbagai macam acara dihelat dengan menggandeng generasi muda untuk menciptakan transformasi ilmu dan kecakapan. Ajang yang diselenggarakan tidak melulu yang sarat hiburan, seperti Tour de Ijen, Jazz Ijen, atau Gandrung Sewu.

Selain ajang-ajang tersebut, ada juga kegiatan yang berdimensi edukasi, sosial, dan religius, seperti Festival Toilet Bersih, Festival Anak Yatim, atau Festival Santri. Berbagai kegiatan tersebut diselenggarakan tanpa meninggalkan kultur masyarakat.

Sebagai contoh, meski berjudul kompetisi ‘Surfing Internasional’, acara dibuka dengan pembacaan ayat Alquran massal oleh puluhan santriwati penghafal Alquran, lalu ditutup dengan kesenian rebana. Di tangan Azwar, pembangunan Banyuwangi berjalan secara menyeluruh.

Sebagai gambaran, demi menjaga fokus pembangunan Banyuwangi sebagai destinasi ekowisata, sepanjang periode pemerintahannya, Azwar tidak mengizinkan pendirian tempat-tempat hiburan malam, seperti diskotek atau karoke.

Ia pun tidak membatasi pembangunan hotel, minimal berkelas bintang tiga. Alasan Azwar, tempat hiburan malam dan hotel melati hanya akan menjadikan Banyuwangi tempat wisata esek-esek, seperti di banyak tempat wisata di Indonesia kini.

Hal yang paling fenomenal adalah saat dia berhasil menutup 13 lokalisasi. Ia memimpin jajarannya memberantas sarang maksiat itu pada periode 2010-2013. Tak banyak media massa nasional yang memberitakannya, seperti penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya. Namun, Azwar berhasil membuat seluruh kalangan masyarakat, khususnya santri dan kiai, bangga dengan kiprahnya itu.

Meskipun terkesan menggembar-gemborkan pembangunan pariwisata, Azwar tidak melupakan sektor perekonomian yang lain. Justru, bagi dia, pariwisata hanya strategi untuk membuka jalan perekonomian di berbagai sektor.

Sebagai contoh, suami Ipuk Festiandani itu getol mempromosikan sektor agrikukultur. Dalam masa pemerintahan Azwar-lah, Banyuwangi dikenal sebagai sentra buah lokal, termasuk buah yang kini menjadi banyak buruan, yakni durian merah. Gencarnya pembangunan pada sektor pariwisata, disadari Azwar, lambat-lambat laun akan mendatangkan kemajuan bagi Banyuwangi.

Di lain sisi, Azwar tidak ingin kelak warga Banyuwangi hanya menjadi penonton di kampungnya sendiri. Demi menyiapkan para penerus pembangunan Banyuwangi, Azwar menempuh berbagai diplomasi agar Banyuwangi memiliki perguruan tinggi negeri.

Hanya butuh empat tahun di bawah kepemimpinannya, kini di Banyuwangi berdiri dua PTN, yakni Universitas Airlangga (Unair) cabang Banyuwangi dan Politeknik Negeri Banyuwangi. Menjalang akhir periode masa jabatannya, di bawah arahan Azwar, Banyuwangi meraih berbagai pencapaian dan prestasi.

Angka kemiskinan berkurang signifikan, dari 20,09 persen pada 2010 menjadi 9,57 persen pada 2014. Jumlah APBD bertambah, dari 1,4 triliun pada 2010 menjadi 2,5 triliun pada 2015. Pada 2013 dan 2014, selama dua tahun berturut-turut, Banyuwangi juga diganjar penghargaan Adipura.

Selain beberapa pencapaian dan prestasi tersebut, masih banyak kemajuan lain yang diraih Banyuwangi. Azwar menjelaskan, kemajuan pesat yang dicapai Banyuwangi tidak terlepas dari upaya reformasi birokrasi dan optimalisasi pelayanan melalui peran teknologi informasi.

"Meskipun satu desa dengan yang lainnya di Banyuwangi dipisahkan gunung, pelayanan birokrasi menjadi prima berkat pembangunan infrastruktur teknologi informasi," ujarnya menjelaskan. Sebagai contoh, berbagai dokumen yang dibutuhkan warga bisa diurus cukup di kantor desa. Berkat teknologi juga, setiap bayi yang lahir tidak perlu repot dan berlama-lama mengurus akta kelahiran. Cukup mendaftar di tempat persalinan, dalam beberapa hari akta akan diantar ke rumah.  

Meskipun berstatus kabupaten, Banyuwangi memang tidak ingin kalah dalam bidang teknologi informasi. Pada 2013, Banyuwangi mendapatkan status sebagai Kota Digital dengan 1.100 titik internet nirkabel, yang berkembang hingga mencapa 1.900 titik. Selain memudahkan pelayanan publik, menurut Azwar, sambungan internet juga menjadi sarana bagi muda-mudi Banyuwangi untuk mengembangkan bisnis daring sehingga mendorong ekonomi kreatif. 

Meskipun grafik pencapain Banyuwangi terus merangkak naik, Azwar tidak lantas menjadi puas. Bagi dia, penambahan angka-angka harus berbanding lurus dengan tingkat kepuasan masyarakat. Oleh karena itu, setiap enam bulan sekali, lembaga Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang digandeng Pemkab Banyuwangi melakukan survei untuk mengetahui tingkat kepuasan publik.

"Tidak hanya mengukur tingkat kepuasan, survei juga menjadi cara kami mengetahui bagian mana pelayanan kami yang kurang dan harus diperbaiki. Intinya, pencapaian yang ingin diraih adalah, masyarakat Banyuwangi bahagia lahir dan batin," kata Azwar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement