REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritisi vonis hakim terhadap nenek Asyani (63 tahun). Sebelumnya, pengadilan memutus bersalah dengan menjatuhi hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider satu hari kurungan kepada Asyani. Kepala Bidang Penanganan LBH Jakarta, Muhammad Isnur melihat vonis itu makin menunjukkan diskriminasi dalam hukum di Indonesia.
Ia menilai ada ketidakadilan dalam penanganan kasus nenek Asyani. Sebab menurutnya, banyak kasus yang menimbulkan kerugian lebih besar di Indonesia justru tidak tertangani tidak jelas.
“Ini kan nggak rasional, coba bandingkan dengan koruptor, jauh sekali. Ini semakin menguatkan bahwa hukum Indonesia tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” kata Isnur di Kantor LBH Jakarta, Jumat (24/4).
Isnur melihat selain nenek Asyani, banyak kasus hukum di Indonesia yang menyeret rakyat miskin menjadi korban kriminalisasi kekuatan yang lebih besar. Namun, penanganannya semua pihak berusaha tutup mata dengan hal tersebut.
Ia melihat beberapa kasus seperti Nenek Asyani dengan batang kayu jati, kemudian nenek Minah dengan tiga buah kakao terdapat pola yang sama yakni adanya kekuatan pihak penggugat dalam hal ini Perhutani dan PT Rumpun Sari Antan yang tidak seimbang.
“Ini posisi yang nggak seimbang, kelompok lemah dikriminalkan, begitu inginnya kelompok besar itu mengkriminalkan, tetapi negara justru tidak melindungi,” ujarnya.