Kamis 23 Apr 2015 19:19 WIB

Sebut IMF Usang, Jokowi Diminta tak Hanya Retorika

Rep: C14/ Red: Bayu Hermawan
Presiden Jokowi bersama delegasi negara Asia-Afrika saat membuka acara Asian African Business Summit di Jakarta
Foto: VOA
Presiden Jokowi bersama delegasi negara Asia-Afrika saat membuka acara Asian African Business Summit di Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan lembaga keuangan dunia seperti Badan Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) sebagai lembaga-lembaga yang usang. Jokowi mengatakan, karenanya dunia perlu melirik kekuatan baru yang diprakarsai negara-negara Asia.

Menurut direktur kajian bisnis dan ekonomi pada Pusat Studi Sosial Politik (PUSPOL) Kusfiardi, pernyataan Presiden Jokowi masih perlu alasan yang riil dan logis. Sehingga, tidak berhenti hanya sebagai retorika yang disampaikannya di panggung pertemuan internasional, World Economic Forum, yang kini mengambil tempat di Jakarta.

"Nggak bisa hanya dengan ngomong. Semua orang juga tahu kalau rezim Bank Dunia, ADB, IMF, sudah usang. Mereka kan diisi ekonom-ekonom kelas dua, yang tidak kredibel  dan tak patut didengar omongannya," jelasnya di Cikini, Jakarta, Kamis (23/4).

Meski dunia internasional sudah tahu demikian, lanjut Kusfiardi, toh pemerintahan Jokowi masih memakai rujukan pernyataan dan penilaian dari, antara lain, IMF untuk mengukur kinerja ekonomi nasional. Ini lantas mengindikasikan inkonsistensi.

Lantaran itu, lanjut Kusfiardi, pihaknya menginginkan Presiden Jokowi berani keluar dari bayang-bayang IMF seutuhnya. Misalnya, dengan menolak kebijakan IMF yang masih mengikat Indonesia hingga kini.

"Untuk tak mau membayar utang-utang Indonesia yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya. Karena lembaga itu (IMF) tidak kredibel, justru menjerumuskan Indonesia ke kebijakan yang salah," jelasnya.

Selain itu, Kusfiardi meragukan bahwa kedekatan Indonesia dengan kekuatan moneter baru, semisal AIIB, memperkuat posisi Indonesia. Misalnya, terkait dengan Cina, sebagai pemegang saham mayoritas AIIB, Indonesia masih belum berposisi sebagai subjek yang bersimbiosis mutualisme, minimal dalam hal perdagangan.

"Sekarang lebih banyak mana, barang Indonesia masuk ke Cina atau barang Cina masuk ke Indonesia?" kata Kusfiardi dengan nada retoris.

Lantaran itu, menurut Kusfiardi, tidak ada beda yang signifikan, apakah Indonesia beralih ke kekuatan moneter Barat ataukah ke kekuatan moneter Timur (AIIB). Terhadap keduanya, Indonesia masih berpotensi besar hanya sebagai subjek yang kurang diuntungkan. Sebab utamanya, Indonesia tidak punya persiapan.

Indonesia, lanjut Kusfiardi, sebenarnya memiliki momentum ketika kekuatan ekonomi Cina, dan juga India, sedang beranjak maju. Yakni, sebelum AIIB dibentuk. Semestinya, menurut Kusfiardi, saat itu Indonesia mulai menggiatkan kerja sama ekonomi dengan kedua negara ini, Cina dan India, terutama yang berkaitan dengan transfer teknologi untuk kemajuan industri nasional.

"Tapi itu kan tak pernah terjadi. Yang dilakukan hanyalah, memberikan previlage kepada keduanya untuk masuk (berinvestasi) ke Indonesia tanpa kejelasan konsesi," ucap dia.

Ketiadaan konsensi yang jelas itu, lanjut Kusfiardi, hanya menguntungkan negara-negara yang sedang unggul di kawasan Asia ini. Indonesia hanya menjadi pasar dan pemasok buruh murah. Sehingga, tak ada bedanya dengan negara-negara Barat.

"Tak ada gagasan besar Indonesia. Harusnya kita proaktf menegosiasi kerja sama ekonomi dengan mereka," tandasnya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement