REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah 60 tahun Konferensi Asia Afrika lahir sejak didirikan pada 1955 lalu. Saat itu, Indonesia masih dipimpin Presiden RI yang pertama, Ir Soekarno. Hingga kini, Indonesia telah berganti presiden. Bagaimana perbedaan pidato antara Soekarno, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko 'Jokowi' Widodo?
Bandung, April tahun 1955 lalu, Indonesia mencatat sejarah teramat penting. Sekitar 29 pemimpin negara Asia dan Afrika berkumpul di sana mulai tanggal 18-24 April 1955 dalam sebuah perhelatan Konferensi Asia Afrika (KAA).
Pertemuan selama kurang lebih tujuh hari itu menghasilkan sebuah kesepakatan penting yakni Ten Principles of Bandung, atau yang lebih dikenal dengan Dasa Sila Bandung. Dalam pidato pembukaan konferensi tersebut, Presiden Indonesia pertama, Ir Soekarno, mampu membius dan menyulut semangat peserta yang hadir dalam konferensi tersebut.
Dengan lantang Soekarno mengingatkan bangsa Asia dan Afrika tentang bahaya kolonialisme. Dan menurutnya, sebagai bangsa yang besar dan menguasai setengah populasi penduduk dunia, negara-negara Asia-Afrika harus bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan.
"Kita sering mengatakan 'kolonialisme sudah mati'. Janganlah kita tertipu atau bahkan ditenangkan oleh itu. Bagaimana kita bisa mengatakan itu sudah mati ketika wilayah yang luas di Asia dan Afrika belum terbebas," kata Soekarno dalam pidatonya di KAA 1955.
Soekarno menambahkan kolonialisme memiliki gaun modern dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual dan kontrol fisik. "Ini adalah musuh terampil dan muncul dalam banyak samaran. Kolonialisme tidak pernah berhenti dimana, kapan, dan bagaimanapun tampaknya. Kolonialisme adalah hal yang jahat, dan salah satu yang harus diberantas dari bumi," ujarnya.
Soekarno pun menegaskan bangsa Asia-Afrika tidak patut untuk takut pada kolonialisme. Karena menurutnya, ketakutan adalah bahaya yang lebih besar dibandingkan bahaya itu sendiri.
"Semua dari kita, saya yakin, dipersatukan oleh hal-hal yang lebih penting daripada hal dangkal yang memecah belah kita. Kami bersatu, misalnya, oleh kebencian umum kolonialisme dalam bentuk apapun. Kami disatukan oleh kebencian umum rasialisme. Dan kita bersatu dengan tekad yang sama untuk melestarikan dan menstabilkan perdamaian di dunia," tegasnya.