REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada hari ini (16/4), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Tengah, menggelar pembacaan putusan gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan masyarakat Rembang atas terbitnya Surat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah No 660.1/17 Tahun 2012 tentang izin lingkungan kegiatan pertambangan PT Semen Indonesia.
Proses persidangan di PTUN Semarang sendiri berlangsung selama tujuh bulan sampai kini. Majelis hakim yang diketuai oleh Susilawati menyatakan, secara hukum, tenggang waktu pengajuan gugatan dari pihak penggugat telah melampaui batas kedaluarsa.
Sehingga, alasan seperti potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi jika pertambangan tersebut dilaksanakan, tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim. Dalam argumentasinya, majelis hakim menyatakan, berdasarkan saksi-saksi dan bukti-bukti, penggugat telah mengikuti sosialisasi sejak tahun 2013. Sementara, gugatan diajukan pada September 2014.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan menyesalkan putusan PTUN Semarang itu, yang menolak gugatan terhadap izin lingkungan untuk PT Semen Indonesia beroperasi di Rembang, Jawa Tengah.
“Walhi menolak putusan PTUN Semarang karena sejak upaya banding administrasi dilakukan, kami belum pernah mengetahui adanya izin lingkungan tersebut,” ujar Abetnego kepada Republika, Kamis (16/4).
Abetnego mengatakan, pihaknya menduga bahwa majelis hakim mencari jalan aman dalam memutus perkara izin lingkungan ini. Sebab, menurut dia, potensi kerusakan lingkungan hidup akibat pertambangan semen di kawasan karst di Rembang memang nyata dan tidak terbantahkan.
”Putusan majelis hakim belum sama sekali menguji pokok perkara apakah penambangan di kawasan kars di Kabupaten Rembang akan merusak atau tidak. Oleh karenanya, Walhi memastikan, akan menempuh upaya hukum atas putusan PTUN Semarang ini,” kata Abetnego.
Sementara itu,secara terpisah, kuasa hukum Walhi, Muhnur Satyahaprabu, menilai, putusan hakim ini memperjelas dugaan bahwa hakim yang bersertifikat lingkungan pun masih ragu menilai satu produk hukum. Padahal, SK gubernur itu telah berpotensi merusak lingkungan. Putusan Tata Usaha Negara, lanjut Muhnur, telah menyalahi prinsip partisipasi dalam pembuatan dokumen lingkungan hidup.
“Izin lingkungan di atas kawasan karst jelas bertentangan dengan UU di atasnya karena penambangan tersebut membahayakan kelestarian lingkungan dan sumber air masyarakat sekitar” pungkas Muhnur, Kamis (16/4).