REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Penanganan Situs Internet Berkonten Negatif (FPSIBN) akhirnya membuka 12 dari 19 situs media Islam yang sebelumnya diblokir. Ke-12 situs itu dinilai kooperatif terhadap pihak yang melaksanakan pemblokiran, yakni Kemenkominfo.
Wakil Ketua FPSIBN Agus Barnas mengatakan, selain mencabut status blokir, pihaknya juga dalam waktu dekat akan merumuskan definisi radikalisme. Sebab, lanjut Agus, kriteria radikalisme mesti dipandang dari perspektif yang beragam. Tidak hanya dari BNPT agar tidak muncul kemungkinan polemik lagi di masyarakat.
"Makin banyak kriteria, itu akan memberikan kebebasan. Itu sekarang sedang dalam proses (penyusunan). Karena (definisi radikalisme) ini kan berbeda (misalnya) dari sudut agama. Bisa saja radikal menurut kita tapi menurut ini nggak," tutur Agus Barnas, Kamis (9/4).
Kriteria radikalisme itu, lanjut Agus, sampai kini sedang disusun oleh Tim Panel 2 FPSIBN yang membahas perihal konten terorisme, SARA, dan kebencian umum. Adapun keanggotaan tim ini terdiri atas banyak tokoh, antara lain Ketua Dewan Pers Bagir Manan, Sekretaris Jenderal PB Nahdlatul Ulama (NU) Marsudi Syuhud, sosiolog Thamrin Amal Tamagola, dan perwakilan Ditjen Aptika Kemenkominfo serta tokoh-tokoh agama.
Agus mengakui, tidak tahu bahwa Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengundurkan diri dari keanggotaan Tim Panel. Namun, tegas Agus, pihaknya tetap akan mengundang unsur dari Muhammadiyah dan juga tokoh-tokoh Muslim lainnya. "Mungkin nanti ada penggantinya Din Syamsuddin. Tapi dari Muhammadiyah juga," ujar dia.
Lebih jauh, perumusan definisi atau kriteria radikalisme, lanjut Agus, akan terwujud dalam waktu dekat. Dengan begitu, untuk situs yang yang dalam proses normalisasi, Kemenkominfo masih terus memantaunya. "Sambil menunggu kriteria yang lebih jelas," pungkasnya.
Agus menegaskan, konten radikalisme termasuk ke dalam isu SARA. Namun, masyarakat tidak bisa melaporkannya ke Kemenkominfo. Hanya instansi yang berwenang yang bisa. Dalam hal radikalisme, BNPT adalah pihak itu.