REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Intelijen dan Terorisme Margidu Wowiek Prasantyo menjelaskan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) harus bisa mengayomi media atau situs berita yang dianggap menebar ajaran dan paham radikal. Caranya, lanjut Prasantyo, membuat batasan yang jelas perihal definisi radikal.
"Definisi radikal seharusnya bisa baku. Yang perlu diperhatikan terkait radikalisme adalah kemungkinan media itu menyebar kebencian dan memprovokasi masyarakat ke arah yang negatif," papar Prasantyo pada Republika, Selasa (31/3). Karena, lanjut Prasantyo, mengajak orang-orang untuk shalat, misalnya, juga bentuk provokasi. Tetapi dalam hal yang baik.
Prasantyo mengatakan jika Kemkominfo langsung membredel atau memblokir, maka caranya juga bisa dikatakan radikal. "Kemkominfo harus segera merevisi hal ini. Kalau perlu, mereka juga harus meminta maaf kalau salah," tambahnya.
Selain itu, Prasantyo juga menyarankan peraturan pemerintah soal pemblokiran juga harus dibenahi. "Karena kalau hanya memblokir, situs itu bisa dan gampang berubah lagi," ucapnya.
Sebelumnya, Kemenkominfo mengakui telah memblokir 19 laman sejak Ahad (29/3) kemarin. Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Ismail Cawidu, ke-19 laman itu dilaporkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai laman yang menyebarkan paham atau simpatisan radikalisme.
Akibatnya, enam pimpinan redaksi situs media Islam yang diblokir menuntut tiga hal kepada Kemenkominfo karena dinilai sebagai tindakan zalim. Yaitu, tidak adanya hak Kemkominfo memblokir, hak normalisasi untuk situs yang diblokir, dan harus adanya diskusi dari semua pihak.