Jumat 27 Mar 2015 09:02 WIB

Pengamat: Konflik PPP-Golkar Berbeda

 Massa simpatisan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pendukung Djan Faridz berunjuk rasa di depan kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin (23/3).  (Republika/Wihdan)
Massa simpatisan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pendukung Djan Faridz berunjuk rasa di depan kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin (23/3). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mencermati konflik yang terjadi di internal PPP dan Partai Golkar, peneliti Forum Kajian Islam dan Politik UIN Sunan Kalijaga, M Affan, melihatnya ada perbedaan mendasar.

"Konflik PPP bermula dari gerakan moral yang diusung oleh Romi (Romahurmuzy) dan kawan-kawan untuk menggantikan SDA yang tersangka korupsi haji oleh KPK," ujar Affan dalam pesan yang diterima ROL, Jumat (27/3).

Rupanya gerakan moral ini tidak mudah. SDA dibantu para pendukungnya tetap mempertahankan jabatannya sebagai ketua umum. Kemudian lahirlah muktamar PPP di surabaya yang memilih Romi dan disahkan oleh Menkumham.

Terpilihnya Romi sesuai pasal 25 UU Nomor 2/2008 juncto UU Nomor 2/2011 tentang Parpol pasal 23. Menkumham hanya memiliki waktu tujuh hari untuk mengesahkan/tidak mengesahkan susunan kepengurusan.

"Nah, selama kurun waktu tujuh hari tersebut tidak ada penolakan dari pihak manapun sehingga keputusan menkumham sah. Kemudian, SDA membikin muktamar yang akhirnya memilih Djan Faridz. "Artinya, sebenarnya tidak ada sengketa hasil forum tertinggi di PPP," ujar Affan.

 

Sebaliknya Golkar menggelar dua muktamar dalam kurun waktu sepekan dan sama sekali belum ada pengesahan kepengurusan terhadap kepengurusan manapun. "Di sinilah terjadi sengketa kepengurusan partai, karena dalam kurun waktu tujuh hari ada dua forum tertinggi yang digelar Partai Golkar," katanya.

Dua kepengurusan tersebut pun mendaftarkan diri dalam hari yang sama, sehingga menkumham tidak mengesahkan keduanya dan mengembalikan ke mahkamah partai. PN Jakpus dan PN Jakbar juga sama-sama mengembalikan kasus golkar ke mahkamah partai.

"Jadi hemat saya jelas ada perbedaan dalam kasus PPP dan Golkar. Karena itu usulan hak angket sangat tidak tepat, selain karena terlalu parsial juga sangat dangkal argumentasinya," katanya mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement