REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam konteks peradilan aparat penegak hukum cenderung masih memberikan vonis ringan bagi para koruptor. Salah satunya dilihat dari hanya membebankan kerugian negara sebesar 20 persen kepada koruptor.
Anggota Komisi III, Arsul Sani menilai selama ini vonis yang diberikan oleh hakim kepada koruptor masih ringan. Sebab, menurut catatan Komisi III dari 42 kasus korupsi, 32 vonis hanya dibebankan sekitar 20 persen dari kerugian negara. Hal ini menjadi titik yang harus dievaluasi ulang oleh Menteri Hukum dan HAM dalam memberikan remisi terhadap koruptor.
"Banyak hakim yang hanya membebankan hukuman uang ganti rugi 20 persen dari jumlah kerugian negara kepada koruptor. Ini kan tidak memberi efek jera," ujar Arsul saat menghadiri diskusi di kantor ICW, Selasa (24/3).
Beban 20 persen ini merupakan hukuman yang ringan bagi para koruptor ketimbang uang yang ia rampok dari negara. Apalagi, menurut Arsul masih banyak koruptor yang juga mendapatkan vonis tahanan setengah dari hukuman maksimal. Dua aspek ini kemudian menjadi pertanyaan kembali bagi rakyat apa motif dibalik niat Yassona Laoly dalam menerapkan remisi bagi para koruptor.
Arsul menilai, semestinya jika hendak memberikan efek jera terhadap para koruptor, aparat penegak hukum harus bisa memberikan vonis yang berat terhadap koruptor. Sayangnya hingga kini Hakim dan Jaksa kerap menerapkan vonis yang rendah dengan atas dasar kemanusiaan.
Arsul tak menampik perlu adanya penegasan secara jelas wewenang Aparat Penegak hukum serta Lembaga yang berada dibawah Kementerian Hukum dan HAM. Namun, hal tersebut semestinya tidak serta merta mengobral remisi yang ada hanya dalam konteks 'kooperatif' dalam peradilan dan perbedaan pendapat antara aparat penegak hukum dan Lembaga Pemasyarakatan.
"Banyak yang perlu diluruskan dari wacana remisi terhadap koruptor ini, sebab mekanisme peradilan di Indonesia juga masih perlu dibenahi," ujar Arsul.