REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Ahli Pelanggaran HAM Kementerian Hukum dan HAM, Ma'mun mengatakan alasan revisi pemberian remisi kepada koruptor saat ini karena syarat remisi terdahulu dinilai sulit dilakukan.
"Syarat pemberian remisi pada terpidana korupsi antara lain berkelakuan baik, sudah menjalani masa pidana selama enam bulan, dan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu bongkar perkara pidana yang dilakukannya, nah ini yang sulit," kata Ma'mun di Jakarta, Selasa (24/3).
Ia menjelaskan, bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus lain atau 'justice colaborator' merupakan hal yang sulit dilakukan oleh terpidana korupsi.
"Karena terpidana korupsi sulit mendapat persyaratan sebagai justice colaborator. Kalau dia enggak tahu (permasalahan suatu kasus korupsi), masa harus cari-cari kesalahan orang," kata Ma'mun.
Ia mengatakan, justice colaborator tersebut hanya dapat dilakukan pada saat penyidikan dan persidangan di pengadilan.
Ma'mun beranggapan keringanan hukuman yang diberikan pada terpidana korupsi seharusnya dilakukan pada tingkat putusan hakim di pengadilan.
"Justice colaborator sulit dilaksanakan karena adanya di penyidikan dan juga di pengadilan, kalau iya dia dapat keringanan di pengadilan," kata dia.
Ma'mun berpendapat proses hukum seorang terpidana sudah berakhir saat vonis di pengadilan. Sementara ia menganggap masa tahanan di lembaga pemasyarakatan sudah memasuki pembinaan dalam ranah Kemenkumham.
Dengan alasan tersebut, Ma'mun mengatakan Kemenkumham merevisi syarat-syarat dalam hal memberikan remisi kepada terpidana korupsi.
Kemenkumham berencana untuk merevisi Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat (PB) untuk terpidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan HAM berat serta kejahatan transnasional yang terorganisasi.