Sabtu 21 Mar 2015 17:00 WIB

Warga Desak Jokowi Batalkan Proyek PLTU Terbesar di Asia Tenggara

 Warga yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Batang Berjuang Untuk Konservasi melakukan aksi menolak rencana pembangunan PLTU Batang di depan Kedubes Jepang, Jakarta, Senin (22/7).    (Republika/ Tahta Aidilla)
Warga yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Batang Berjuang Untuk Konservasi melakukan aksi menolak rencana pembangunan PLTU Batang di depan Kedubes Jepang, Jakarta, Senin (22/7). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Organisasi lingkungan hidup dari Jepang dan Indonesia mendesak pemerintah dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk membatalkan rencana pembangunan PLTU terbesar di Asia Tenggara yang ada di Batang, Jawa Tengah.

Area yang diusulkan untuk PLTU terletak di atas sawah yang subur dan lahan perikanan yang sangat produktif bagi petani dan nelayan di daerah sekitar. Masyarakat khawatir bahwa mata pencaharian mereka akan hancur jika PLTU tetap dibangun.

“Kami tidak ingin uang publik Jepang digunakan untuk polusi dan membayar pelanggaran hak asasi manusia, tidak peduli di manapun itu," kata aktivis Friends of the Earth Jepang Hozue Hatae, Sabtu (21/3).

Megaproyek batubara Batang, dinilai menciptakan beberapa masalah. Mulai dari intimidasi, pelanggaran hak asasi manusia, hingga kriminalisasi pengunjuk rasa untuk pembebasan lahan ilegal.

Pengesahan keuangan megaproyek batubara ini telah tertunda selama tiga kali selama kurun 2012-2014, karena penolakan yang kuat dari masyarakat dan pemilik tanah.

Baru-baru ini, Direktur PLN Sofyan Basir meminta pemilik tanah yang tersisa untuk menjual tanah mereka. Direktur Basir dikabarkan mengunjungi rumah salah satu pemilik tanah, Cayadi. Cayadi jelas menolak tawaran direktur untuk membeli tanahnya.

Saat ini, sekitar 10% dari 226 hektar lahan yang dibutuhkan untuk PLTU tetap tidak terjual dan belum terselesaikan. Para pemilik tanah menolak untuk menjual tanah mereka karena mereka tidak ingin kehilangan mata pencaharian mereka.

“Kami percaya Presiden Jokowi akan mempertimbangkan ketahanan pangan sebagai prioritas utamanya, dan tanah dan laut kami adalah salah satu yang paling subur dan produktif di Pulau Jawa. Jadi, lahan ini tidak semestinya untuk energi kotor,” ujar salah satu tokoh  masyarakat di Batang, Roidi.

Team Leader Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto menegaskan, pemerintah harus mencoba mendengarkan suara rakyat sebelum berpihak pada perusahaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement