REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana dimudahkannya persyaratan pemberian remisi bagi koruptor menuai banyak pro dan kontra.
Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Yenti Garnasih mengatakan Lembaga Permasyarakatan (LP) khusus koruptor saja sudah merupakan bentuk pemanjaan pemerintah kepada penjahat negara. Apalagi ditambah remisi yang rencananya juga menjadi hak bagi mereka.
"LP khusus koruptor itu pemanjaan. Pengkhususan boleh dilakukan tapi ada standarnya," kata Yenti saat dihubungi ROL, Selasa (17/3).
Menurutnya, pengkhususan LP seharusnya bertujuan untuk pemberatan hukuman tindak pidana yang sudah dilakukan. Terkecuali LP khusus anak dan wanita yang memang dibuat agar lebih aman dari kaum laki-laki.
Tapi pada kenyataannya LP khusus koruptor justru yang ada menjadi tempat istimewa untuk mereka. Yenti menyebutkan fasilitas makanan enak, keluarga bebas menjenguk, dan fasilitas lainnya yang justru terbilang istimewa untuk seorang narapidana.
Ia mengatakan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya disamakan tempat pembinaannya bersama narapidana lainnya misalnya pembunuhan dan pencurian. Apalagi koruptor kebanyakan dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Oleh karena itu sangat mudah mendapatkan hak istimewa dengan kekuasaan dan kekayaannya.
Wanita peraih gelar doktor pertama di ilmu hukum tindak pidana pencucian uang ini mempertanyakan kebijakan pemerintah yang dirasa tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
LP yang dirasa sudah mengistimewakan koruptor ditambah lagi hak mendapatkan remisi yang berbanding terbalik dengan PP Nomor 99 tahun 2012 yang meniadakan hak tersebut. Seharusnya koruptor harus diberi efek jera bukan bentuk pemanjaan seperti yang dilakukan pemerintah saat ini.