Senin 16 Mar 2015 13:05 WIB
Remisi Koruptor

Menkumham Diminta Buka Pintu Saran

Rep: c23/ Red: Angga Indrawan
Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly.
Foto: Republika/Wihdan L
Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Nyoman Sarikat Putra meminta Menkumham Yasonna Laoly untuk membuka ruang diskusi sebelum merealisasikan wacana remisi bagi koruptor. Menurutnya, jangan sampai remisi koruptor justru bersebrangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Nyoman menyebut, hak pemberian remisi koruptor oleh Menkumham memang pernah diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemasyarakatan No 12 tahun 1995. Namun kata dia, dalam perkembangannya, peraturan itu telah direvisi oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.99 tahun 2012 yang mengatur pelaku kejahatan luar biasa seperti terorisme, narkoba, dan korupsi, tidak berhak mendapatkan penagguhan masa tahanan.

"Wacana Kemenkumham harus didiskusikan dahulu agar bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis, filosofis, dan sosiologis," ujarnya, Senin (16/3).

Menurut Nyoman, dalam UU yang mengatur soal korupsi, tidak semua koruptor berhak mendapatkan remisi. Meskipun, kata dia, ada juga koruptor yang layak mendapatkannya berdasarkan pertimbangan tertentu.

"Misalnya, yang hanya korupsi tiga juta atau lima juta," jelas dia.

Nyoman menyarankan agar Kemenkumham mengundang lembaga swadaya masyarakat seperti ICW, pengamat, dan akademisi hukum untuk mendiskusikan dan mengkaji dalam-dalam wacana tersebut.

"Karena ketika korupsi itu melanggar sosial-ekonomi masyarakat luas, maka tidak layak mendapatkan remisi," kata Nyoman.

Sebelumnya, Menkumham Yasonna Laoly mewacanakan agar koruptor juga diberikan remisi dan pembebasan bersyarat. Dia menilai, pembatasan remisi terhadap narapidana korupsi tidak sesuai dengan prinsip pemasyarakatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement