REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur, menjalin bekerja sama dengan PT Biofarma untuk memproduksi secara massal "Kit Diagnostik GAD65 Diabetes". Produk ini sudah dikembangkan sejak 2012 dan diluncurkan produknya pada tahun lalu.
Belum lama ini, Ketua Tim Peneliti Aulanni'am mengungkapkan KIT GAD65 ini merupakan alat paling sederhana yang memiliki tingkat sensitivitas (akurasi) 100 persen dan tingkat supersitifitas 90 persen. "Kami sudah uji pada 130 orang dan 100 persen akurat," ujarnya.
Ia menuturkan butuh waktu lama untuk menciptakan alat ini. Bersama tiga rekannya penelitian dilakukan selama 20 tahun dan menghabiskan dana sekitar Rp 3,5 miliar. Awalnya peneliti menggunakan hewan kelinci, tikus, setelah itu dibuat untuk sel manusia melalui Bakteri E Coli.
Staf pengajar dari UB, Fatchiyah menjelaskan produk ini siap untuk di produksi massal dan dipasarkan. Namun, dalam satu tahun ini Biosains masih melakukan pengujian lebih dalam agar produknya semakin siap dan sempurna. Apalagi, produk Kit Diagnostik GAD65 Diabetes itu tidak hanya diproduksi untuk memenuhi kebutuhan nasional saja, tetapi juga internasional.
Produk ini, merupakan alat untuk mendeteksi penyakit diabetes secara dini untuk pasien "DM Tipe 1" berbasis "Reverse flow Immunochromatoghraphy" atau "Rapid Test Autoimmunue Marker autoantibodi GAD65".
Hasil riset tim dari Fakultas MIPA dan Biologi serta Kimia UB ini memang sedang dikembangkan untuk produksi secara massal. Produk ini merupakan salah satu dari 2 proyek penelitian lanjut dengan PT Biofarma yang dimulai sejak 1,5 tahun lalu.
Penggunaan alat ini serupa alat tes kehamilan, dokter cukup memasukkan satu tetes darah pasiennya ke dalam kertas, kemudian kertas itu diberi tetesan cairan buffer dan tetesan cairan khusus dan hasil diagnosa berupa positif dan negatif diabetes pun akan muncul.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Biofarma, Sugeng Raharso, mengatakan Biosains merupakan salah satu unit usaha akademik untuk terus melakukan penelitian, dimana hasil riset itu nantinya diindustrikan. "Kalau perguruan tinggi, larinya ya ke riset dan dari riset yang dipatenkan itulah akademisi mendapat royalti," tegasnya.