REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Turki menangkap 16 warga negara Indonesia (WNI) yang sempat dikabarkan hilang dan disinyalir akan bergabung dengan kelompok Islamic State of Irak dan Syria (ISIS). Mereka ditangkap saat akan menyeberang ke Suriah melalui jalur yang selama ini sering digunakan simpatisan ISIS.
Jubir Badan Nasional Penanggulangan Radikalisme (BNPT) Prof Dr Irfan Idris MA mengatakan, akan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait dengan penangkapan itu. "Yang pasti pihak-pihak terkait masih berkoordinasi dengan pemerintah Turki dan Interpol. Tunggu saja," ujar Irfan, Kamis (12/3).
BNPT, kata dia, hanya bertugas mengkoordinasikan dengan kementerian terkait untuk menyiapkan langkah antisipasi. Seperti berkoordinasi dengan kementerian agama untuk melakukan pembinaan keagamaan. Juga kementerian pendidikan untuk membantu menghilangkan trauma anak-anak yang ikut diajak ke sana.
Yang pasti, kata Irfan, pemerintah tetap mewaspadai dan menyiapkan program penangkal pengaruh ISIS. Antara lain, akan meningkatkan early warning sistem di masyarakat agar meningkatkan daya tangkal terhadap pengaruh radikalisme. Serta memperkuat wawasan keagamaan dan kebangsaan mereka.
"Pemerintah akan membenahi sistem yang ada. Ketegasan ini perlu agar pihak yang kurang bertanggungjawab memanfaatkan berbagai celah," kata Irfan.
Menurutnya, pengarus ISIS mengkhawatirkan karena memiliki militansi untuk melakukan perlawanan dengan apa yang dianggap salah secara agama. Mereka juga punya militansi agama berlebihan yang bisa melahirkan kecurigaan dan fitnah.
Sehingga masyarakat antipati terhadap pemerintah. Hal ini disebut bisa muncul karena mereka merasa dianggap pahlawan.
"Merasa sudah mujahidin yang baru kembali dari medan laga. Ini tidak boleh terjadi dan BNPT akan berada digaris depan untuk memerangi hal tersebut," ujar Irfan.
Staf pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Dr A Rubaidi, MAg menambahkan, 16 WNI itu sangat mungkin dalam koneksi yang sama, meski berbeda kota. "Hubungan bawah tanah mereka amat mungkin terjadi ,” kata Rubaidi.
Menurutnya, doktrin radikalisme gampang diterima jika pemahaman agama seseorang dalam posisi lemah. "Pada posisi pemahaman agama yang lemah, seseorang akan gampang di-brain wash (cuci otak) tentang doktrin radikal yang mengatasnamakan ajaran agama,” kata Rubaidi.