REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demi memastikan proses sipilisasi Badan Intelijen Negara (BIN) terus berjalan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diharapkan mampu memilih Kepala BIN yang bukan berasal dari militer aktif, tapi dari kalangan sipil.
Selain itu, Presiden Jokowi juga diharapkan untuk segera menunjuk kepala BIN yang baru agar tercipta refreshment di organisasi telik sandi tersebut. Tujuannya agar dinamika organisasi bisa berjalan dengan baik. Saat ini, kepala BIN dijabat Letjen (Purn) Marciano Norman.
Direktur Program Imparsial, Al Araf mengatakan, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi dalam memilih calon kepala BIN baru. Syarat tersebut adalah, calon kepala BIN yang baru harus tidak boleh terlibat dalam masalah pelanggaran HAM, bebas dari korupsi, memiliki komitmen dalam reformasi intelijen, mempunyai kompetensi dalam bidang intelijen dan pertahanan keamanan, dan memiliki rekam jejak yang sudah lolos uji publik.
Semua syarat itu, terutama calon yang berasal dari sipil atau yang sudah tidak aktif lagi di militer, lanjut Al Araf, penting untuk memastikan BIN menjadi badan yang benar-benar bekerja untuk kepentingan sipil dan dilepaskan sepenuhnya dari militer.
"Ini untuk memastikan proses sipilisasi intelijen benar-benar berjalan, terutama dalam konteks demokratisasi dan penegakan HAM," ujar Al Araf saat dihubungi Republika, Senin (23/2).
Tidak hanya itu, Al Araf juga menyoroti soal pembenahan-pembenahan yang mesti dilakukan BIN pada masa-masa mendatang. Selain peningkatan profesionalitas, refrormasi institusi yang tidak lagi dipimpin oleh perwira militer aktif, BIN juga harus mengubah paradigma dengan bekerja untuk kepentingan sipil dan sejalan dengan semangat demokratisasi dan penegakan HAM.
Pun dengan adanya perubahan persepsi ancaman yang selama ini dianut BIN. Perubahan tersebut mencakup hal-hal yang dianggap menjadi ancaman keamanan nasional, termasuk diantaranya jika ada pihak-pihak yang dianggap kritis.
Al Araf pun mengambil contoh bagaimana adanya dugaan keterlibatan BIN dalam kasus meninggalnya aktivis HAM, Munir. "Orang-orang yang kritis itu bukan ancaman buat keamanan nasional dan bukan musuh negara, tapi mereka adalah bagian dari upaya demokratisasi," katanya.