Senin 23 Feb 2015 00:57 WIB

Tunggu Penyelidikan, Buvanest Dilarang Diproduksi Dulu

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Indira Rezkisari
Pabrik obat Kalbe Farma
Foto: ANTARA
Pabrik obat Kalbe Farma

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia menyatakan izin edar dan aktivitas produksi seluruh batch obat anestesi Buvanest Spinal 0,5 persen Heavy 4 ml/5 (ABVSA) dibekukan. Sementara untuk obat Asam Tranexamat 500 mg/Amp 5 ml dengan nomor batch 629668 dan 630025 juga ditarik dari peredaran hingga penyelidikan berakhir dan mendapatkan jawaban.

Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kemenkes Indonesia Akmal Taher mengaku, pihaknya masih terus mengidentifikasi kejadian itu. Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diakuinya masih tengah melakukan audit dan penyelidikan terhadap PT Kalbe Farma (Tbk) selaku produsen.

“Namun selama penyelidikan ini berlangsung, produksi Buvanest harus dihentikan dan peredaran Asam Tranexamat harus ditarik sampai investigasi akhir selesai,” katanya di Jakarta, Ahad (22/2).

Investigasi ini, kata dia, pasti akan dilanjutkan hingga tuntas dan diharapkan dapat segera selesai. Tak hanya PT Kalbe, pihaknya juga melakukan audit di Rumah Sakit (RS) Siloam, Tangerang, Banten yang menjadi tempat meninggalnya dua pasien obat anestesi Buvanest. Mulai dari mengurutkan peristiwa penggunaan obat sampai bagaimana proses penanganan pasien.  

Namun berdasarkan hasil penyelidikan sementara, ia menyatakan memang terjadi kesalahan label obat. Seharusnya, obat yang dikira Buvanest Spinal itu untuk untuk membius setengah badan yaitu pinggang ke bawah. Sehingga setelah mendapatkan suntikan ini, pasien akan mati rasa.

Tetapi, ternyata ini tidak terjadi dan menyebabkan dua pasien di RS yang sama, RS Siloam menghembuskan napas terakhir. Pihaknya berjanji akan menginvestigasi bagaimana penanganan pasien sampai penggunaan obat.

“Namun sejauh ini, dari segi perizinan RS maupun dokter anestesi, dokter kebidanan, hingga dokter urologi yang melakukan tindakan itu masih memiliki izin yang berlaku,” katanya.

Selain itu, kata dia, RS Siloam dan tenaga medisnya memiliki semua Standard Operating Procedures (SOP) yang diperlukan untuk dua tindakan ke dua pasien ini. Jadi, Kemenkes sejauh ini belum menemukan SOP yang dilanggar RS Siloam.  Jika pada penyelidikan akhir ditemukan pelanggaran, pihaknya memastikan akan memberikan sanksi.

“Mengenai sanksi, sebenarnya kami tidak berbicara sejauh itu. Tetapi yang jelas kalau dokter yang melakukan pelanggaran ada majelis kehormatan etik, demikian juga RS yang ada sanksinya dari Dinas Kesehatan (Dinkes) atau Kemenkes,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement