REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Praktik korupsi berupa pungutan liar (pungli), masih terjadi di jembatan timbang, Gilimanuk, Kabupaten Jembrana Bali. Dengan melemparkan uang dengan jumlah tertentu, para sopir truk bisa langsung melaju tanpa melalui pemeriksaan seksama.
"Ini kan bisa merusak infrastruktur jalan, kalau truk dengan tonase berlebihan dibiarkan lolos masuk ke Bali," kata Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Bali Umar Ibnu Al Khottob.
Kepada Republika di Denpasar, Jumat (13/2), Umar mengatakan, Tim Ombudsman Bali yang sidak ke Gilimanuk, telah melakukan pengawasan secara diam-diam (menyamar) di jembatan timbang Gilimanuk. Petugas Ombudsman menyaksikan para sopir truk melempakan uang kepada petugas. Mereka yang melemparkan uang, hanya diperiksa sekedarnya saja, termasuk petugas tidak mempersoalkan lagi tonase truknya.
Menurut Umar, pengawasan yang dilakukannya merupakan tindak lanjut pengawasan yang dilakukan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika sebelumnya. Umar mengatakan, pihaknya ingin mengetahui apakah para petugas di bagian barat Pulau Bali itu merekayasa kondisinya, sehingga semuanya oke saat dikunjungi Gubernur atau keadaannya sebaliknya.
Dengan menyaksikan langsung praktik pungli di jembatan timbang itu, Umar memastikan bahwa prilaku itu merupakan perilaku korupsi. Kalau sehari ada 500 sopir truk yang melemparkan uang Rp 10000-Rp 20000, maka terkumpul dana Rp 5 juta-Rp 10 juta atau Rp 300 juta sebulan atau sekitar Rp 3,6 miliar setahun.
"Tapi bukan besar kecil uang jumlah uang yang mereka terima, tapi itu praktik korupsi dan akibatnya bisa merusak infrastruktur di Bali," kata Umar.
Karena jembatan timbang di Gilimanuk menjadi kewenangan Dinas Perhubungan Bali, Umar berharap ada pengawasan yang lebih ketat dan instansi terkait di tempat itu. Kepada Bupati Jembrana kata Umar, pihaknya teah menyampaikan permasalahan yang ada, dan karena jembatan timbang itu berada di wilayahnya, Bupati Jembrana akan ikut memberikan perhatian.