REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengembalian RAPBD DKI Jakarta oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), memunculkan ancaman tersendiri bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Sebab, jika tidak ada kesepakatan terus menerus terkait anggaran tersebut, Pemprov haris menggunakan RAPBD tahun sebelumnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (CW) Febri Hendri menilai, kejadian itu menjadi preseden buruk. "Sayang sekali jika RAPBD yang diajukan tidak menggunakan format e-budgeting. Padahal Pak Ahok sendiri yang mendorong untuk menggunakan sistem tersebut. Ya kalau tidak ada kesepakatan terus, harus menggunakan RAPBD tahun lalau," ujar Febri, Jumat (13/2).
Sebelumnya Wakil Ketua DPRD Jakarta Muhammad Taufik menyebutkan, RAPBD yang diserahkan oleh Pemprov kepada Kemendagri adalah berkas yang tidak disetujui DPRD dan bukan menggunakan format e-budgeting.
Namun, Febri menyampaikan, ICW tidak mengetahui bukti otentik, berkas mana yang diajukan Pemprov DKI. Pasalnya, Gubernur Ahok memiliki keterangan berbeda dengan DPRD DKI. Menurut Ahok, kata dia, penolakan RAPBD disebabkan oleh penggunaan format e-budgeting. Sedangkan, Kemendagri menginginkan format yang lama.
Karena itu, ICW meminta agar Kemendagri membuka berkas tersebut ke publik. Itu agar dapat diketahui kebenarannya. Febri pun mengomentari pernyataan anggota Banggar DPRD DKI terkait penyuapan Rp 12 triliun dari eksekutif ke anggota dewan.
"Ya kalau penyuapan tersebut benar, anggota Banggar harus menunjukkan mana saja anggaran yang suap. Pokoknya harus dibuktikan," tutur Hendri. Jika tidak bisa berhasil dibuktikan, pernyataan tersebut berarti fitnah. Hal ini pun berlaku bagi Gubernur untuk menunjukkan data-data korupsi Rp 8,8 triliun kepada publik.