Rabu 11 Feb 2015 22:58 WIB

Pengamat: Demokrasi Indonesia Dibajak Para Elite

Rep: C82/ Red: Bayu Hermawan
Indria Samego
Indria Samego

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego menilai demokrasi di Indonesia masih lemah. Ia mengatakan beberapa faktor yang menjadi alasan.

"Ada faktor ekonomi, orang masuk ke parpol bukan didorong oleh panggilan untuk memperjuangkan gagasan, ide besar tapi sebagai pencari kerja, karena vocation bukan karena calling," kata Indria dalam sebuah acara bertajuk "Percakapan Ahli tentang Etika dan Sistem Politik Indonesia Dewasa Ini" di Universitas Paramadina, Rabu (11/2).

Indria melanjutkan seharusnya tujuan dari terjun ke parpol adalah untuk memperjuangkan rakyat. Namun, karena tujuan yang telah bergeser sejak awal, membuat para kader parpol yang telah menjabat hanya menikmati jabatannya dan tidak bekerja maksimal.

"Selama itu tidak dikurangi, berbagai macam upaya memperbaiki partai, DPR itu omong kosong," ujarnya.

Dari sisi politik sendiri, Indria mengatakan, masih ada budaya para elite yang ingin terus berkuasa. Hal inilah, lanjutnya, yang menghalangi para kader muda untuk berpartisipasi dan berprestasi.

"Di Indonesia udah tua, belum dicabut Tuhan pinginnya berkuasa terus. Apalagi untuk memeroleh posisi ketua umum harus pakai duit. Maka yang tidak punya duit, sehebat apa pun mimpi saja," kata Indria.

Menurutnya, faktor tersebutlah yang memengaruhi proses demokratisasi di Indonesia menjadi terlalu elitis.

"Rakyat hanya dihitung sekali lima tahun ketika pemilu, ketika pilkada, diluar itu dilupain. Ada fenomena yang menunjukan demokrasi ini dibajak oleh elit, elit membayar konstituennya," jelasnya.

"Itu artinya, demokrasi yang biasa ditandai oleh keterbukaan, pratisipasi dan kemajemukan, di sini hanya hidup dalam wacana saja tidak ada dalam praktis politik," kata Indria lagi.

Meski begitu, ia optimistis akan ada perbaikan yang membawa perubahan dalam demokrasi di Indonesia. Namun, perubahan tersebut akan memakan waktu lama karena sudah menjadi bagian budaya politik dan menyangkut mentalitas serta orang berduit yang takut kehilangan jabatan.

"Harus ada konsolidasi demokrasi atau pendalaman demokrasi. Tapi jangan harap bisa cepat dinikmati karena perubahan politik itu lama apalagi konteks Indonesia," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement