REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menyiapkan usulan untuk dibahas dalam revisi terbatas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada di DPR. Pemerintah mengusulkan Pilkada serentak digelar tahun 2015, 2016, 2017, dan tahun 2020.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyadmaji mengatakan, pemerintah mengusulkan sebelum pilkada serentak nasional pada 2020 dilakukan tiga tahap Pilkada sebelumnya.
"Jadi ada tiga tahap sebelum 2020. Pertama pilkada tahun 2015, lalu 2016, lanjut 2017, setelah itu baru Pilkada serentak nasional 2020," katanya di kantor Kemendagri, Jakarta, Selasa (10/2).
Ia menjelaskan Pilkada tahapan pertama di tahun 2015 merupakan Pilkada di daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir tahun 2015 hingga sebelum Juni 2016. Ada 204 daerah yang kepala daerahnya berakhir di tahun 2015.
Ditambah sekitar 30-an daerah yang pemimpinnya berakhir masa jabatannya sebelum Juni 2016. Sehingga Pilkada di 2015 dilakukan di 240 daerah. "Tahapannya dimulai April tahun 2015, dan pemungutan suara diperkirakan Maret 2016," ujarnya.
Selanjutnya, Pilkada serentak tahap kedua pada 2016. Pilkada tahun ini dilakukan bagi daerah yang kepala daerahnya berakhir masa jabatan setelah Juni 2016. Ditambah setengah kepala daerah yang akhir masa jabatannya tahun 2017. Pilkada dimulai setelah pilkada 2016 berakhir hingga awal tahun 2017.
"Ada sekitar 100 daerah yang akan menggelar pilkada tahun 2016," ujarnya.
Kemudian, pemerintah mengusulkan pilkada serentak tahap ketiga pada tahun 2017. Pemilihan dilakukan di daerah yang kepala daerahnya habis masa jabatan setelah Juni 2017, ditambah kepala daerah yang berakhir tahun 2018.
"Pilkada tahun 2017 ini sisanya. Setengah kepala daerah yang berakhir di 2017 ditambah yang berakhir tahun 2018. Itu sekitar 140-an daerah," jelas Dodi.
Setelah itu, lanjut dia, baru digelar pilkada serentak nasional pada tahun 2020. Menurutnya Kemendagri mengajukan usulan waktu itu atas pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Putusan MK menyebutkan masa jabatan kepala daerah itu lima tahun. Yang dihitung satu periode masa jabatan itu minimal lebih dari 2.5 tahun," katanya.
Artinya, menurut Dodi, dengan susunan waktu tersebut masa jabatan minimal 2.5 tahun tetap terpenuhi. Perhitungan yang dibuat Kemendagri menurutnya telah disesuaikan dengan simulasi tahapan yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"KPU kan buat simulasi tahapan pilkada itu sekitar 11 bulan. Dengan hitungan seperti itu, masa jabatan kepala daerah minimal 2.5 tahun bisa terpenuhi," ungkap Dodi.
Selain usulan waktu, menurut Dodi, pemerintah juga akan menyampaikan masukan soal teknis penyelenggaraan pilkada lainnya. Misalnya terkait pemilihan sistem paket atau non paket. Pemerintah mengusulkan pemilihan tetap sistem non paket seperti isi Perppu yang kini telah diundangkan.
"Jadi tetap pemilihan kepala daerah saja tanpa wakil. Karena dalam UUD 1945 kan hanya disebutkan pemilihan kepala daerah," katanya.
Soal usulan perubahan syarat usia kepala daerah, menurutnya pemerintah menilai tidak perlu dilakukan perubahan. DPR mengusulkan calon bupati/walikota berumur 30 tahun dan calon gubernur berumur 35 tahun.
Menyangkut uji publik, lanjut Dodi, pemerintah mengusulkan uji publik tetap dilakukan. Namun waktunya dipersingkat. Sementara terkait usulan pilkada hanya satu putaran, Kemendagri menurutnya tetap berpandangan pilkada satu putaran kurang kuat legitimasinya. Sehingga pilkada tetap disarankan dua putaran.
Pembahasan revisi terbatas UU Pilkada antara DPR dan pemerintah dijadwalkan akan dilakukan Rabu (11/2) besok. Hasil revisi dijadwalkan disahkan paad 17 Februari 2015.