REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia menyayangkan mengapa presiden Joko Widodo memilih bekerja sama dengan perusahaan mobil Malaysia, Proton untuk mengembangkan mobil nasional (mobnas) di Tanah Air.
Ketua Komisi VI DPR, Achmad hafidz Tohir menilai, langkah jokowi yang melakukan kerja sama teknologi otomotif ini sebenarnya sudah benar, namun tidak efektif. Ia menjelaskan, Proton sebenarnya adalah merek Mitsubishi era tahun 1980-an yang dibeli Malaysia sebagai bahan untuk malaysia memulai produk industri mobil dalam negeri.
“Kenapa Proton? kenapa tidak berani ambil teknologi ke negara yang lebih tinggi dan canggih?misalnya langsung ke Jepang, Italia, Prancis atau Jerman sekalian karena sebagai cikal bakal perkembangan indonesia mandiri kendaraan mobil,” katanya kepada Republika, di Jakarta, Ahad (8/2).
Jadi, mestinya Indonesia bisa ambil keuntungan dalam posisi saat ini terhadap industri otomotif berteknologi tinggi. Langkah Jokowi tersebut dirasa akan kurang efektif. Tak hanya itu, Negara akan pasti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, sehingga ini akan kurang efisien dalam hal pembiayaan.
Apalagi, kata dia, gairah perdagangan mobil saat ini sedang lesu. Sebagai anggota DPR yang notabene memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, ia juga melihat langkah Jokowi ini tidak tepat ditengah wacana mobil yang dulu dijagokan Jokowi, Esemka.
Meskipun diakuinya, Esemka bukanlah mobil karya anak bangsa melainkan rakitan beberapa unsur bagian otomotif yang dirakit oleh anak bangsa. Terkait ada saham salah satu pejabat, kata dia, secara etik tidak boleh lakukan kerjasama karena disitu pasti akan ada konflik kepentingan dan ada kepentingan.
“Sedangkan kerja sama ini karena dengan Presiden maka pasti akan menggunakan keuangan negara sehingga tidak sehat,” ujarnya.
Sebelumnya, penandatangan nota kesepahaman antara perusahaan mobil Malaysia Proton dengan perusahaan otomotif Indonesia PT Adiperkasa Citra Lestari (ACL) dilakukan di Shah Alam, Malaysia, Jumat (6/2). PT ACL adalah perusahaan yang dipimpin mantan kepala Badan Intelijen Negara Republik Indonesia Abdullah Mahmud Hendropriyono. Selain itu, Hendropriyono juga diketahui sebagai anggota tim transisi Jokowi.