Rabu 04 Feb 2015 13:10 WIB

Dipanggil KPK, Suryadharma Ali tak Datang

Ketua Majelis Pertimbangan PPP Suryadharma Ali.
Foto: Republika/Wihdan H
Ketua Majelis Pertimbangan PPP Suryadharma Ali.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan menteri agama Suryadharma Ali tidak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010-2013.

"Pada dasaranya klien kami bermaksud menghadiri panggilan KPK tersebut, namun ada hal prinsip yang harus diklarifikasi terlebih dahulu karena buat kami jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka akan sangat membingungkan kalau dia dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi," ujar penasihat hukum Suryadharma, Andreas Nahot Silitonga di gedung KPK, Jakarta, Rabu (4/2).

Klarifikasi yang dimaksud adalah dalam surat panggilan tertulis bahwa Suryadharma akan diperiksa "untuk didengar keterangannya sebagai saksi" tapi dijelaskan Suryadharma akan diperiksa dalam perkara tindak pidana yang dilakukan oleh dirinya dan kawan-kawan selaku menteri agama.

"Panggilan ini sangat membingungkan karena klien kami dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi di kasus dia yang sebagai tersangkan," tambah Andreas.

Dia mengaku, kliennya tidak menghadiri panggilan pemeriksaan KPK bukan karena takut. "Karena sebelumnya Pak Suryadharma juga sudah diperiksa satu kali, dan keluarga juga ikut diperiksa," ungkap Andreas.

Suryadhama akan memenuhi panggilan KPK bila telah ada kejelasan mengenai surat panggilan tersebut. "Setelah ada kejelasan pastilah kami akan kooperatif," ujar Andreas.

KPK menetapkan Suryadharma Ali sebagai tersangka pada 22 Mei 2014 dengan sangkaan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 KUHP.

Pasal ini mengatur orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement